Indonesia adalah negeri yang diberkahi dengan kekayaan rempah-rempah. Coba kita lihat dapur kita sendiri---ada kunyit, jahe, ketumbar, lada, cengkeh, kayu manis, dan banyak lagi. Semua itu adalah bukti bahwa cita rasa masakan Nusantara tidak bisa dipisahkan dari keberadaan rempah-rempah. Bahkan, makanan sehari-hari seperti sayur lodeh, soto, atau rendang menjadi begitu istimewa karena kekayaan rempah di dalamnya.
Namun, ada ironi yang mungkin tidak selalu kita sadari. Kekayaan ini, yang dulunya menjadi alasan bangsa-bangsa besar dunia datang ke Nusantara, kini sering dianggap biasa saja oleh kita sendiri. Padahal, potensi rempah-rempah Nusantara tidak hanya soal cita rasa masakan tetapi juga sejarah, ekonomi, dan masa depan bangsa.
Dari Perebutan Hingga Lupa
Pada masa lalu, rempah-rempah adalah harta karun yang diperebutkan. Bangsa-bangsa Eropa rela berlayar melintasi samudra hanya untuk mendapatkan pala, cengkeh, dan lada dari Nusantara. Namun, zaman berubah. Kini, persaingan terhadap rempah bukan lagi melalui peperangan, melainkan melalui pasar global yang semakin kompetitif.
Sayangnya, di negeri sendiri, potensi rempah ini sering terlupakan. Petani rempah tidak selalu mendapatkan apresiasi yang layak, dan banyak masyarakat yang lebih memilih bumbu instan ketimbang rempah asli. Ini menjadi tantangan besar bagi kita untuk menghidupkan kembali kesadaran akan pentingnya rempah sebagai identitas dan kekayaan bangsa.
Menggalakkan Pertanian Rempah
Untuk mengembalikan kejayaan rempah Nusantara, langkah pertama yang harus kita lakukan adalah menggalakkan kembali pertanian rempah. Hal ini tidak hanya berfungsi untuk memenuhi kebutuhan lokal tetapi juga untuk menguasai pasar ekspor. Pemerintah dan masyarakat perlu bekerja sama dalam menciptakan ekosistem pertanian yang mendukung petani rempah. Penyediaan bibit unggul, pelatihan pertanian berkelanjutan, dan akses ke pasar adalah kunci utama.
Bibit pohon rempah sebenarnya cukup mudah didapat. Sebulan lalu, saat saya mengikuti program penanaman pohon, saya berkesempatan berkunjung ke lokasi persemaian Politeknik Banjarnegara (Polibara). Persemaian ini dikelola bersama oleh Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Serayu Opak Progo (BPDAS SOP) dan Polibara, lalu bibitnya dibagikan secara gratis kepada masyarakat.
Selain itu, saya juga berkesempatan mengunjungi Pusat Persemaian Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan (Dinpertankp) Kabupaten Banyumas. Dari kunjungan tersebut, kami mendapatkan banyak bibit pohon rempah dan buah, seperti pala, kopi, sirsak, dan alpukat. Bibit-bibit ini kemudian kami tanam dan rawat bersama masyarakat, sebagai upaya memperkuat ketahanan pangan dan menjaga kekayaan alam kita.
Sambutan masyarakat sangat baik. Mereka menyadari bahwa hasil penanaman ini kelak tidak hanya akan memberikan manfaat ekonomi, tetapi juga memperkuat identitas Nusantara sebagai negeri rempah-rempah. Harapan ini menjadi penggerak semangat bersama untuk menjaga tanaman tersebut hingga benar-benar menghasilkan.
Kampanye Rempah sebagai Identitas Bangsa
Rempah-rempah adalah salah satu simbol identitas bangsa yang perlu digalakkan kembali melalui kampanye-kampanye kreatif. Festival rempah, pameran masakan tradisional, hingga pengajaran tentang sejarah rempah di sekolah bisa menjadi cara untuk memperkuat kebanggaan masyarakat terhadap warisan ini.
Kampanye ini harus melibatkan berbagai pihak, mulai dari pemerintah, komunitas, hingga pelaku usaha. Cerita tentang bagaimana rempah-rempah Nusantara menjadi magnet bangsa-bangsa dunia di masa lalu adalah narasi yang perlu terus diangkat. Jangan sampai generasi mendatang hanya mengenal rempah sebagai bumbu dapur tanpa memahami nilainya bagi bangsa.