Bahasa merupakan ciri khas utama yang dimiliki negara maupun dearah tertentu, yang juga sebagai cerminan jati diri bangsa tersebut sehingga menjadi idenritas yang tak dapat diakui oleh negara maupun daerah lainnya. Di Indonesia, banyak sekali bahasa daerah yang dapat kita dengarkan ciri khas yang berbeda disetiap daerah, seperti misalnya bahasa daerah sunda, melayu, sasak, samawa, mbojo, jawa, minang, dayak, dsb.
Misalnya di NTB dikenal tiga suku dan memiliki bahasa daerah yang berbeda-beda yakni sasak, samawa, dan mbojo. Massing-masing bahasa daerah memiliki keunggulan masing-masing.
Pulau lombok secara Administratif terdiri dari lima kabupaten dan kota yakni Kabupaten Lombok Barat, Kabupaten Lombok Tengah, Kabupaten Lombok Timur, Kabupaten Lombok Utara, dan kota Mataram. Kurang lebih ada sekitar 3 juta jiwa tang mendiami pulau Lombok, 80% diantaranya adalah suku sasak.
Namun, pada suku sasak yang memiliki bahasa daerah sasak, dari sejarahnya bahasa sasak, terutama yang berkenaan dengan sistem aksaranya, neniliki kedekatan dengan sistem aksara Jawa-Bali, sama-sama menggunakan Ha-Na-Ca-Ra-Ka. Kendati demikian, secara pelafalan, bahasa sasak ternyata lebih memiliki kedekatan dengan bahasa bali. Menurut penelitian para etnologi, kendati demikian, secara pelafalan, bahasa Sasak ternyata lebih memilikikedekatan dengan bahasa sasak dalam rumbun bahasa Austronesia Melayu-Polinesian, juga ada kesamaan ciri dengan rumpun bahasa Sunda-Sulawesi, dan Bali-Sasak.
Bahasa Sasak yang digunakan di Lombok secara dialek dan lingkup kosakatanya dapat digolongkan kedalam beberapa bahasa sesuai dengan wilayah penuturnya: Meriak-Meriku (Lombok Selatan), Meno-Mene dan Ngeno-Ngene (lombok tengah), Ngeto-Ngete (Lombok Tenggara), dan Kuto-Kete (Lombok Utara). Secara Umum ada 4 Dialek yang umum digunakan oleh daerah di Lombok yakni Dialek Pejanggik (Sering digunakan Lombok Tengah), Dialek Petung Bayan (sering digunakan Lombok Utara), Dialek Selaparang (sering digunakan Lombok Timur dan Lombok Barat), Dan Dialek Pujut (digunakan Lombok Tengah).
Setelah saya berdiskusi panjang lebar dengan salah satu siswi SMA di Pringgarata ia mengatakan bahwa, “ ketika kita berbahasa sasak kita malah dikatakan kalau kita itu ndeso, jadul, intinya yang paling baik munurut orang-orang ini adalah menggunakan bahasa Inggris, bahasa Indonesai dan bahasa luar lainnya yang sulit dikuasi oleh kita sendiri, mata pelajaran muatan lokalpun sekarang sudah tidak ada lagi diganti menggunakan English For Touris (EFT) karena sebagai bekal nanti ketika lulus kita dapat berbicara bahasa asing” ujarnya cetus.
Sudah tidak adanya lagi mata pelajaran muatan lokal didalam sekolah,merupakan tanda ini bahwa sekolah tidak lagi mewadahi tempat pelestarian kearifan lokal didalam sekolah, yang lebih ditekankan pada sekolah adalah penguasaan bahasa asing. Sebenarnya dengan adanya mata pelajaran muatan lokal ini diharapkan sekolah dapat mengajarkan siswa-siswinya melestarikan suku sasanya khususnya didalam memahami dan dapat mengimplementasikan bahasa alus seperti Pelinggih, Enggih, Tiang, Napi, dsb.
Ini dikarenakan masih banyak anak-anak sekarang yang memang menggunakan bahasa sasak itu sendiri namun dalam bahasa kasarnya, dan anak-anak yang tinggal diperkotaanpun tidak bisa dan tidak mengenal bahasa daerahnya, yang mereka tahu hanyalah bahasa Indonesia dengan bahasa asing. Padahal jika disandingakan bahasa negara dengan disandingkan bahasa daerah dapat melestarikan kearifan lokal. Apalagi bisa memunculkan karakteritik dan identitas negara kita yang majemuk ini.
Ada pribahasa yang terkenal juga didaerah Lombok ini yakni “bede kerupuk, bede rase : lain gubuk, lain bahase” artinya beda kerupuk beda rasanya : beda tempat tinggal, beda bahasanya. Ini menandakan bahwa memang kemajemukan bangsa Indonesia memang telah ada mulai dari tingkat dusun, apalagi antar daerhnya. Sungguh kayanya negara kita ini.
Oleh : Qoimatun Nisa’
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H