Kasus ini bertempat di Banten yang bermula pada saat Prita Mulyasari mengeluhkan panas tinggi dan pusing kepala, Prita Mulyasari ditangani oleh dr. Indah dan dr. Hengky, dari diagnosa menunjukan bahwa Prita Mulyasari menderita demam berdarah, dan disarankan rawat inap. Setelah itu Prita Mulyasari dikunjungi dr. Hengky dan memberikan kabar tentang perubahan thrombosit dan Prita Mulyasari pada saat itu diberi banyak suntikan, tanpa pemberitahuan jenis dan tujuan penyuntikan; akan tetapi tak lama berselang mulai terliat kejanggalan pada badan Prita Mulyasari yakni; tangan kiri membengkak, suhu badan naik hingga mencapai 39 derajat Sejauh ini, tindakan medis berupa suntikan terus diberikan ketubuh Prita Mulyasari, pada Saat yang sama tangan kanan Prita Mulyasari mengalami pembengkakan. Prita Mulyasari meminta infus dan suntikan serta obat-obatan dihentikan.
Prita Mulyasari berniat pindah dan pada saat yang sama Prita Mulyasari membutuhkan data medis. Setelah sampai ke tingkat manajemen RS Omni, data Prita Mulyasari diprint out tanpa diserta data hasil lab yang valid Kemudian Prita Mulyasari pindah ke RS lain di Bintaro.
Menurut dokter, Prita Mulyasari terserang virus yang biasa menyerang anak-anak. (disini fakta Prita Mulyasari terserang demam berdarah tidak terbukti, hanya saja Prita Mulyasari telah terlanjur disuntik bertubi-tubi ditambah infus di RS Omni); pada tanggal yang sama, keluarga Prita Mulyasari meminta hasil resmi kepada RS. Omni tentang hasil lab yang semula 27.000 dan berubah menjadi 181.000.
Pada saat itu Prita Mulyasari menulis dan mengirimkan email pribadi kepada terdekat terkait keluhan pelayanan RS Omni internasional. Email ini kemudian beredar luas di dunia maya; sesaat setelah menyebar ke dunia maya, RS omni tidak terima akan tetapi ada upaya mediasi antara Prita Mulyasari dan RS Omni, hanya saja mengalami kebuntuan, Kemudian dr. Hengky menggugat Prita Mulyasari dan masuk dalam kategori gugatan pidana (pencemaran nama baik) Setelah itu pihak Omni Internasional menanggapi email Prita Mulyasari di harian Kompas dan Media Indonesia Prita Mulyasari menggugat perdata RS Omni termasuk dr. Hengky dan dr. Grace Prita Mulyasari diputuskan kalah dalam kasus perdata, konsekuensinya Prita Mulyasari harus membayar ganti rugi materiil Rp 161 juta dan kerugian immaterial Rp 100 juta
Prita Mulyasari ditahan di LP Wanita Tangerang, sebagai tahanan kejaksaan Selang beberapa hari Prita Mulyasari kebanjiran pendukung khususnya dari para blogger hingga mencapi 30.000. Kasus Prita Mulyasari meminta perhatian publik pada skala massif. Prita Mulyasari dibebaskan dari LP Wanita Tangerang dengan perubahan status sebagai tahanan kota. Prita Mulyasari sidang dalam perkara pidana. Kemudian majelis hakim Pengadilan Negeri Tangerang memutuskan bebas atas Prita dari tuntutan jaksa dengan dakwaan pencemaran nama baik Rumah Sakit (RS) Omni Internasional tidak terbukti secara sah dan meyakinkan yang sebelumnya Prita diwajibkan membayar uang ganti rugi sebesar Rp 204 juta kepada RS Omni Internasional Jaksa mengajukan Kasasi ke MA dan MA mengabulkan kasasi jaksa. majelis kasasi Mahkamah Agung mengeluarkan keputusan dalam putusan perkara bernomor 822 K/PID.SUS/2010, telah membatalkan vonis bebas Prita Mulyasari dalam kasus pencemaran nama baik RS Omni Internasional. Vonis 6 bulan penjara dengan 1 tahun masa percobaan dikukuhkan oleh hakim lembaga peradilan tertinggi itu.
Pandangan masyarakat terkait kasus ini Banyak pihak yang memandang hukum di negara ini masih terkesan tebang pilih yang dimana dengan Keadaan yang seperti itu tentunya bukan hukumnya atau aturannya saja yang dipersalahkan akan tetapi lebih pada aparat penegak hukumnya yang masih kadangkadang kehilangan moral, tengok saja kasus suap hakim syarifudin dan kasus suap jaksa urip yang menandakan aparat penegak hukum masih menggadaikan kebenaran, keadilan demi sejumlah uang.
Secara hukum positif, polisi, jaksa, dan hakim tidak dapat dipersalahkan karena hanya memenuhi rumusan Undang-Undang yang tidak memberikan kesempatan pada aparat penegak hukum untuk berbuat sesuai nurani. Walaupun hakim diberi kebebasan sesuai hati nurani akan tetapi apabila terbentur dengan bukti yang sudah lengkap, tidak alas an bagi hakim untuk memutuskan. Disisi lain masyarakat sebagai obyek hukum merasa terusik rasa keadilannya dengan keputusan hakim yang menyatakan minah dan prita bersalah. Sehingga perlu dilakukan upaya penegakan hukum progresif dan dibarengi dengan pembenahan sistem hukum pidana baik dalam segi substansi, struktur maupun budaya hukum.
Penegakann hukum progresif sebagai solusi persoalan yang terjadi pada prita membuat rasa keadilan masyarakat terganggu sehingga diperlukan suatu pendekatan penegakan hukum yang relevan. untuk meminimalisir penegakan hukum terhadap kasus-kasus seperti terulang maka perlu dilakukan pembenahan secara komperhenshif pada sistem hukum pidana di Indonesia. Pembenahan ini harus dilakukan terhadap semua komponen sistem hukum tersebut. menurut Lawrence M Friedman, sistem hukum terdiri dari 3 (tiga) komponen yaitu :
1. komponen substansi hukum, yaitu segala bentuk aturan-aturan hukum yang diberlakukan
2. komponen strutur hukum, yaitu lembaga yang menciptakan hukum atau aparat penegak hukum yang akan memproses setiap orang yang melanggar aturan hukum
3.komponen Kultur Hukum, yaitu budaya masyarakat dalam berhukum atau dapat diartikan sebagai nilai-nilai dalam masyarakat