Mohon tunggu...
qoem ahmad
qoem ahmad Mohon Tunggu... Foto/Videografer - amatir documentary

Pembelajar, pembaca dan pendengar yang baik; Lagi belajar nulis, terimakasih jika berkenan memberi masukan dan kritik agar bisa lebih baik

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Di Luar Nurul, Besti Mendatangkan Rhoma Irama, Tapi Suara Jeblok Gara-Gara Politik Uang

28 November 2024   16:40 Diperbarui: 28 November 2024   16:45 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: Tim Pasti Syibli-Zainal

Pilkada Polman tahun ini menyisakan banyak cerita menarik, salah satunya soal kandidat yang mendatangkan Rhoma Irama, sang Raja Dangdut, untuk menggemparkan panggung kampanye. Ribuan orang tumpah ruah, ikut bernyanyi, berjoget, dan memadati lapangan tempat acara berlangsung. Seolah-olah, ini adalah tanda kemenangan. Namun, ketika hasil pemilu diumumkan, suara sang kandidat malah jeblok. Bagaimana mungkin kerumunan sebesar itu tidak berbuah dukungan di bilik suara?
Jawabannya sederhana: politik uang.

Mendatangkan Rhoma Irama jelas strategi cerdas untuk menarik perhatian. Musik dangdut adalah hiburan rakyat, dan Rhoma, dengan popularitas lintas generasi, menjadi magnet yang sulit ditolak. Tapi yang sering kali dilupakan oleh para calon adalah bahwa di balik keramaian, pemilih memiliki pertimbangan pragmatis, terutama ketika politik uang masih menjadi "raja" sebenarnya dalam banyak kontestasi di daerah.

Fenomena ini memperlihatkan dua hal. Pertama, mendatangkan figur terkenal seperti Rhoma memang menciptakan euforia sesaat, tetapi itu tidak selalu berarti loyalitas politik. Orang datang untuk menikmati hiburan, bukan memberikan janji setia pada kandidat. Kedua, politik uang terus menjadi penghalang utama bagi demokrasi yang sehat. Di tengah maraknya kampanye dan janji-janji, suara rakyat masih sering "dibeli" dengan cara instan, baik melalui amplop, sembako, atau bentuk-bentuk imbalan lainnya.

Ironisnya, biaya mendatangkan selebritas nasional seperti Rhoma Irama jelas tidak murah. Namun, dana besar itu seakan terbuang percuma karena pada akhirnya, siapa yang mampu "bermain uang" lebih agresiflah yang memengaruhi pilihan pemilih. Kampanye kreatif, hiburan besar-besaran, hingga janji-janji program unggulan sering kali kalah oleh satu amplop tebal.

Kisah ini adalah pengingat bahwa memenangkan hati rakyat tidak cukup dengan menciptakan keramaian. Dibutuhkan pendekatan yang lebih dalam dan jujur, seperti menyentuh kebutuhan masyarakat dengan program nyata dan mendengarkan aspirasi mereka secara langsung. Politik uang hanya menciptakan pemimpin instan tanpa legitimasi moral, yang pada akhirnya akan sulit membawa perubahan berarti.

Bagi kandidat yang suaranya jeblok meski mendatangkan Rhoma Irama, ini seharusnya menjadi pelajaran: dalam politik, euforia saja tidak cukup. Tanpa strategi menyentuh akar permasalahan masyarakat dan melawan budaya politik uang, hasil yang didapat tidak akan sesuai dengan harapan.

Pemilu adalah momentum perubahan. Namun, jika politik uang terus mendikte hasilnya, perubahan itu hanya akan menjadi ilusi. Mari kita kembalikan pemilu pada substansinya: memilih pemimpin terbaik berdasarkan visi, misi, dan integritas, bukan berdasarkan siapa yang mendatangkan artis atau memberikan amplop lebih tebal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun