"Berdirilah disitu, bungkukkan punggungmu, ulurkan tanganmu dengan hati hati agar orang lain melihatmu begitu lemah dan mengasihimu dengan selembar rupiah."
Tetiba ingatanku memasuki labirin waktu yang tak berujung, bertandan ke rumah mungil, berdinding hijau langit dari tembok yang diselimuti berkaleng kaleng cat, menyapa ibu yang sedang tertidur pulas beralaskan sajadah merah, mukena masih menempel di wajah putihnya, menutupi larik larik rambut yang telah berubah rasa.Â
Detak dentang jarum jam menggema berirama berputar meninggalkan masa lalu menjemput subuh, hanya itu yang terdengar, pulas, pikirku: Ibu kecapaian setelah ibadah malam.
Dan seorang wanita berumur ibuku tanpa cahaya pada wajahnya, kulitnya keriput, berkerudung hitam, gaun hitam di bawah terik matahari pagi, kini berdiri tepat di depan mataku, mengulurkan tangan berharap asih;Â
Apa kabar ibu?Â
Masihkah surga dititipkan di bawah telapak kakimu?Â
Kenapa anakmu begitu bengis meninggalkanmu mengemis recehan dekil tanpa simpati di tengah kerumunan manusia?
Dimanakah anak anakmu ibu?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H