Gradasi langit dalam kloset sepotong roti dari bulan, mama mati di bunuh televisi, papa sakit terlalu banyak makan malam. Tuhan, apa kabarmu?"
"Dari langit, bulan bernyanyi riang, mengajak bebintang berdansa senang. Khusuk ia menyaksi bumi yang sedang mandi tanpa busana di dalam kolam air got, sedang manusianya mabuk menertawai luka borok manusia manusia bertopeng koreng, menikmati indahnya terinjak injak mimpi berita pejabat yang memeras otak mereka dengan ampas ideologi barat. Umatku, bakar rokoknya dan seduh kopinya, lanjutkan prosesi teatrikalnya."
"Tapi bagaimana kalau ini bukan negara, Tuhan. Bagaimana kalau ini adalah sebuah rumah sakit dan kita semua adalah sekumpulan pasien yang terus menerus mengeluarkan biaya pengobatan pada pasien pasien yang sedang menyamar jadi dokter dan perawat.
Begitu dramatiknya para politisi merampok teater."
"Rumah sakit jiwa adalah nama yang sekiranya dapat diterima oleh pikir kita, sebuah labolatorium manusia manusia sakit, yang mana dokternya juga sakit."
Kini aku tak dapat menggunakan otak pikirku tentang perihal satu ini. Olehnya, rumah sakit ini laiknya segera di daur ulang menjadi rumah sakit baru dengan jenis penyakit dan pasien pasien sakit yang baru."
"Rumah sakit baru dan para dokter baru dan pasien pasien yang juga baru dengan penyakitnya, baru saja di mulai Tuhan"
"Umatku, politisi perampok teater dengan wajah baru telah aku siapkan juga, agar engkau tetap tiada diam bersantai di atas pasir putih dengan cimeng, agar duniamu tetap dinamik"
"Tuuuuuhaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaan"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H