Mohon tunggu...
qoem ahmad
qoem ahmad Mohon Tunggu... Foto/Videografer - amatir documentary

Pembelajar, pembaca dan pendengar yang baik; Lagi belajar nulis, terimakasih jika berkenan memberi masukan dan kritik agar bisa lebih baik

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Puisi | Dan Berlalu

27 Desember 2017   09:08 Diperbarui: 27 Desember 2017   09:10 471
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Aku rela menunggu hujan hingga jam melewati batas batas sisi sang waktu, tapi juga ia tak kunjung turun. Aku mengiba hingga urat nadi leherku terasa terbebani selusin jarum, menusuk nusuk.

Udara malam menyahut. Datang membawa sepetak ingatan yang retak, tentang duka alam berpatri sendu, menggema: Bahagia baru saja berlalu, angin menerjang layarnya, menggiringnya menuju utara dan sauhnya pupus

Sunyi berbuah gaduh; suara alam. Tasbih mewujud sebilah belati, menguliti tubuh malam hingga pagi menerjang riak kabut yang membelah perjumpaan antara rindu dan bias aroma tubuhmu yang tak juga turun bersama hujan.

Kidung pagi menyahut, menuntut sadar pada hari yang telah berganti. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun