Mohon tunggu...
Qodri azizi akbar
Qodri azizi akbar Mohon Tunggu... Administrasi - Mahasiswa

Dibesarkan di Bengkulu, kelahiran Jakarta, 1 juli 1997. Menulis adalah ungkapan jiwa tanpa batas, menulis adalah wujud intelektual dengan mengedepankan etika. Masih belajar dan terus berprogres.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kompleksitas Perkawinan Anak, Bagaimana Dampaknya terhadap Kesehatan Masyarakat?

20 November 2019   18:52 Diperbarui: 20 November 2019   19:05 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Children4Change, UNICEF Malaysia 2011

Dari sisi tingkat pendidikan, perempuan yang belum menyelesaikan atau tidak sekolah berisiko 2 kali melakukan perkawinan anak (Kesehatan, 2017). Selain itu, perempuan yang tinggal di pedesaan berisiko 2 kali melakukan perkawinan anak daripada mereka yang tinggal di urban (Rumble et al, 2018). Studi komparatif yang dilakukan oleh Plan Internasional menyebutkan adanya faktor budaya, seperti pandangan gender bahwa perempuan yang telah baligh (telah puber) sudah memasuki masa mengurusi rumah tangga dan mampu memiliki hingga mengurusi anak. Faktor lainya, kejadian kehamilan tidak diinginkan (unwanted pregnancy), menjadi risiko terjadinya perkawinan anak (Plan Internasiona Regional Hub, 2019). Hal tersebut diperparah dengan pandangan masyarakat bahwa pendidikan reproduksi adalah hal yang tabu untuk dibcarakan terutama pada anak (Miswanto, 2014).

Dalam perspektf kesehatan masyarakat, bahwa perkawinan anak berrisiko terhadap berbagai permasalahan kesehatan baik mental maupun fisik, baik bagi perempuan dan anaknya. Dalam penelitian Raj dan Boehmeer (2013) melihat konsistensi kematian bayi di 96 negara pada perempuan yang menikah di bawah usia 18 tahun (Raj dan Boehmer, 2013). 

Penelitian lain menunjukan hal yang sama, wanita yang menikah di usia anak berisiko 2 kali terhadap kematian anak pada kelahiran pertama daripada wanita yang menikah lebih dari 18 tahun (Groot, Kuunyem and Palermo, 2018). Analisis data riseksdas oleh Afifah (2011) menunjukan adanya hubungan perkawinan usia anak dengan kejadian anak pendek (stunted). Umumnya pernikahan usia anak tidak siap secara ekonomi dan pola pengasuhan, sehingga tidak terpenuhi hak dasar anak, misalnya kebutuhan gizi anak, menjadi risiko kelahiran bayi berat lahir rendah dan stunted (Afifah, 2011).

Bagi sang ibu yang kawin pada usia anak juga berisiko terhadap dampak kesehatan fisik dan mental yang tidak diinginkan. Pada aspek biologis, perkawinan di bawah usia 16 tahun berisiko 10-16 kali terhadap kanker leher rahim dibandingkan mereka yang menikah di atas usia 20 tahun. Selain itu, alat reproduksi wanita usia di bawah 20 tahun belum sempurna sehingga jauh berisiko terhadap komplikasi kehamilan dan persalinan yang dapat menyebabkan kematian ibu (Kesehatan and Reproduksi, 2006).

Di Sulawesi Utara, provinsi dengan Angka Kematian Ibu (AKI) 71 per 100.000 kelahiran tahun 2015 dan Angka Kematian Bayi (AKB) 33 per 1000 kelahiran tahun 2012, disebabkan karena ketidaksiapan ibu muda dalam menghadapi masalah kehamilan. Hal tersebut, didukung dengan pernyataan Dinas Kesehatan Sulawesi Utara sub bagian Ibu dan Anak dalam penelitian kualitatif Djamilah dan Reni tahun 2014,

"Minimnya pemahaman ibu muda terhadap masalah kehamilan, sehingga anak yang dilahirkan menderita kurang gizi, berat bayi lahir rendah (BBLR) dan meninggal setelah dilahirkan. Selain itu, perkawinan anak menjadi dampak Angka Kematian Ibu di Sulawesi Utara" 

Sedangkan pada aspek psikologis, perkawinan anak meningkatkan risiko mengalami gangguan  mental seperti depresi, kecemasan, hingga bunuh diri  (BPS and UNICEF, 2016). Selain itu,telah banyak penelitian kualitatif yang mendalami kasus kekerasan dan perceraian yang dialami oleh pasangan menikah usia anak. Di banyuwangi, angka perceraian meningkat dari tahun 2010-2014 sebesar 27% dimana 90% diantaranya adalah pasangan muda. Kebanyakan dari mereka menikah di usia anak, sebanyak 300-400 kasus (Kartikawati, 2014).

"Di Banyuwangi ditemukan kasus di mana remaja perempuan menikah karena kehamilan tidak diinginkan dan mengalami kekerasan rumah tangga sehingga perkawinannya hanya berumur 3 bulan dan berujung kepada perceraian" (Kartikawati, 2014)

Menyelesaikan perkawinan bukan berarti mengurangi angka kasus, melainkan menjamin terpenuhinya hak anak terhadap pendidikan, kesehatan, hidup di luar kemiskinan, hingga penyetaraan gender. Jika hal tersebut telah tercapai, maka kasus akan sendirinya berkurang. 

Dari aspek kesehatan, telah banyak penelitian membuktikan dampak negatif dari perkawinan anak, baik bagi ibu, anak, dan keluarga serta membahas faktor risiko terjadinya perkawinan anak. Dari aspek kelembagaan, penyelesaian perkawinan anak harus terlembaga dengan baik dan kerjasama dari berbagai elemen serta komitmen pemerintah, menjadi kunci keberhasilan menyelesaikan perkawinan anak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun