Masyarakat Indonesia khususnya Jabodetabek dihebohkan dengan fenomena sosial mengenai gaya berbahasa "Anak Jaksel". Fenomena tersebut berupa penggunaan 2 bahasa dalam hal ini Indonesia dan Inggris yang seringkali digunakan saat berbicara langsung ataupun melalui media sosial dalam ilmu bahasa dikenal dengan code mixing atau campur kode. Pada dasarnya, penggunaan bahasa Indonesia bercampur bahasa inggris saat berbicara sudah ada sejak lama di Indonesia terutama di kota besar seperti Jakarta. Berbicara dengan 2 bahasa menjadi kebiasaan yang memang telah dikembangakan di berbagai institusi pendidikan sebagai upaya atau metoda belajar berbahasa asing.
Penelitan mengenai kapan tren code mixing mulai menjamur di tengah-tengah masyarakat masih sukar untuk ditemukan, namun munculnya kebiasaan berbicara dengan 2 bahasa sudah menjadi kebiasaan yang lumrah terjadi di masyarakat. Menurut Ivan, Wikipediawan dalam portal berita online kompas.com mengatakan bahwa perlu adanya penelitian secara ilmiah untuk membuktikan dan menguak kapan tepatnya fenomena gaya berbahasa di Jaksel terjadi. Gaya berbahasa "anak jaksel" seakan menunjuk kepada masyarakat Jaksel saja, entah apa yang sebenarnya mendasari "Anak Jaksel" menjadi label dalam fenomena ini yang seringkali mencampurkan bahasa Indonesia dan inggris dalam berbicara. Padahal, fenomena ini seringkali kita temui pula di berbagai daerah lainya. Istilah gaya berbahasa "anak Jaksel" juga belum dinyatakan dengan pasti definsi sesungguhnya mengenai apa sebenarnya gaya berbahasa ala "anak jaksel" itu sendiri. Melainkan, erat dikaitkan dengan kosa kata which is, literally, I mean like, dan lain-lain serta apakah memang mencampurkan penyataan dalam bahasa inggris dengan bahasa Indonesia merupakan gaya berbahasa ala "anak jaksel"? hal tersebut belum bisa dipastikan.
Namun, dengan munculnya sebuah pemberitaan di masyarakat mengenai tren mencampurkan bahasa inggris dan Indonesia saat berbicara memunculkan berbagai sudut pandang. Ada yang beranggapan bahwa ini merupakan dampak globalisasi sehingga penguasaan bahasa inggris menjadi sangat penting dan memunculkan fenomena bahasa "anak jaksel" dan adapula yang menganggap bahwa ini bisa menjadi sebuah keresahan terkait dampaknya terhadap penggunaan bahasa Indonesia menjadi tidak baik, hanya sebagai gaya-gaya-an, dan lain-lain.Â
Terlepas dari bagaimana penilaian benar atau tidaknya sebuah fenomena gaya berbahasa "anak jaksel" ini, ada sebuah pertanyaan yang fokus diangkat dalam tulisan ini. Apakah tren gaya berbahasa "anak jaksel" memberikan dampak postif bagi membangun atmosfer belajar berbahasa inggris terutama di kalangan pelajar atau justru menurunkan kepercayaan diri dalam menggunakan bahasa inggris di percakapan sehari-hari? Pada dasarnya belum ada penelitian secara ilmiah dan komprehensif untuk mengupas dan menemukan dampak langsung antara fenomena bahasa "anak jaksel" terhadap motivasi mereka yang benar-benar ingin menggunakan bahasa inggris untuk belajar.
Maka dari itu, Penulis melakukan survey singkat dengan teknik sampel acak kepada 10 orang mahasiswa sebagai responden. Dalam survey tersebut ditemukan bahwa hanya 1 dari 10 orang merasa bahwa fenomena tersebut menurunkan kepercayaan dirinya dalam menggunakan bahasa inggris dalam percakapan sehari-hari. Asumsinya adalah karena fenomena gaya berbahasa "Jaksel" seringkali diangkat menjadi jokes. Namun, 9 responden merasa fenomena berbahasa "anak Jaksel" sama sekali tidak berpengaruh terhadap mereka ketika ingin menggunakan bahasa inggris dalam percakapan sehari-hari. Berikut adalah beberapa tanggapan dari responden:
"Bakal berenti sendiri fenomena ini, karena yang namanya mixing code (campur bahasa) itu udh dari kapan tau dilakuin sebelum ada fenomena ini dan seiring berjalannya waktu bakal hilang" -- Zaza (Mahasiswa)
"kontroversial sihh ada yg bilang bagus karena nambah vocab ada yg bilang alaaaay" -- Insial Gie Joe (Mahasiswa)
"it's merely just a generalization, and i can't say that it is representative enough to depict anak jaksel pada umumnya. But for me, this is very ok to do as we need to put ourselves in global point of view where nowadays english is so crucial. We face AEC, everything is influenced by other countries, etc. By the time these era coming, we are not prepared yet. Indonesian fluency in speaking english is far lower than malaysia, philippines, brunai, etc. And the only thing we can do to boost our fluency index is by practice it in daily life. that's why i talk english much, and maybe thats why fenomena anak jaksel also happen." -- Fijra (Mahasiswa)
Munculnya fenomena ini tidak berpengaruh secara signifikan mengenai motivasi seseorang dalam menggunakan bahasa inggris dalam percakapan sehari-hari. Mengenai kontroversi dari fenomena ini, kembali lagi bagaimana setiap individu menyikapi hal tersebut. Intinya gunakanlah bahasa dengan bijak, mengerti serta memahami konteks dari penggunaan bahasa sehingga tidak memunculkan kekeliruan berbahasa baik Indonesia maupun inggris.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H