Dua pekan lalu saya sudah berujar tentang olahraga terjang bola di Insomnia. Dari hasil mengontak seorang kawan dengan alat komunikasi khusus yang saya ciptakan ada beberapa yang bisa saya kabarkan. Baca saja sini: http://olahraga.kompasiana.com/bola/2015/04/14/kisah-kisruh-bola-insomnia-712250.html.
Rupanya pak menpora telah membekukan PTI karena memang betul-betul dikelola orang sableng. Menpora menanyakan apa, eh dijawab dengan yang tak berhubungan. Di kasih SP malah PTI jalan terus. Akhirnya geraha, dibekukan deh.
Tapi PTI sok tak ngaruh. Dengan pongah mereka menjamin kompetisinya bakal tetap jalan tanpa persetujuan menpora sekalipun. Mereka lupa kalau mereka tinggal di Insomnia. Mereka cuma bilang akan tunduk apa kata PIPA. Masalahnya kalau ada kerusuhan yang urus PIPA atau polisi? Polisi kan!! Nah polisi itu bagian dari Insomnia atau PIPA? Lah polisi yang ngerti hukum tentu tak beri izin gelaran pertandingan.
PTI kira polisi masih sama seperti era presiden labil di era sebelum ganti kekuasaan dulu. Dikiranya mereka bisa seenaknya. Lah sekarang mah beda. Kaki tangan ketua PTI anyar terpilih yang nabok ketua Perseyaba asli langsung dibui dan tak dibiarkan jadi infektan masyarakat. Boro-boro kasih izin PTI meraja di masyarakat, sekadar pembiaran saja tak diberi kali ini.
PTI pun kalah dua kali. Setelah dibekukan, kini tak diizinkan main. Nah sekarang PTI coba menerapkan jurus ketiga: meracuni pikiran sehat insan persepakbolaan yang tersudut dengan larangan pertandingan.
PTI berlindung dengan dalih rusaknya pendapatan masyarakat kecil disekeliling stadion manakala kompetisi berhenti. Padahal masyarakat yang dimaksud hanya berjualan sekitar 17 kali sepanjang tahuin (sejumlah partai kandang di kota tersebut). Mereka mengajak para pedagang kecil memusuhi menpora, padahal pedagang kecil tersebut toh tetap berjualan kapan pun di manapun (ingat mereka makan 3 kali 365 hari dalam setahun yang artinya tak hanya tergantung 17 hari jualan di stadion).
PTI juga meracuni klub dengan pikiran kompetisi tak jalan jadi klub tak akan punya uang. Padahal menpora punya planing tetap menggulirkan liga, tapi tak di bawah PTI saja. Ajaibnya para klub ini bersatu mendukung PTI. Padahal kala kompetisi bergulir sebagian besar dari klub itu akan dizalimi lewat permainan wasit kiriman PTI yang kerap mengubah hasil akhir lewat "penalti" seperti laga Amera versus Perjasi yang berakhir 4-4 di pembuka liga musim ini. Kelak kalau hasil baik mereka dirampok sebagaimana biasa barulah klub ini sadar kalau mereka dimanfaatkan.
Klub juga diajak menyuarakan kerugian atas gagalnya pertandingan mereka yang tak dapat izin kepolisian. Tim kandang rugi persiapan penyelenggaraan; klub bertandang rugi di ongkos transportasi dan penginapan. Padahal yang bodoh mereka sendiri. Sudah jelas PTI dibekukan, izin polisi tak ada' kenapa juga tetap ngotor bertanding dan datang.
Kalau masalahnya kompetisi. Wis tenang sebentar, menpora juga tak akan merugikan sejauh itu. Pasti kompetisi digelar juga, tapi penyelenggaranya bukan PTI, itu saja.
PTI juga meracuni fans dengan ultimatumnya bahwa kompetisi musim ini bakal ditiadakan kalau menpora dan polisi tak mengizinkan. Fans diharapkan takut tak punya hiburan dan mendemo menpora. Fans ini dibutakan dengan ajakan menggelar terjang bola murni, olahraga tanpa politisasi sementara PTI main belakang dengan politisasi.
Jikminia yang suporter Perjasi malah ngotot dukung PTI melawan menpora. Mereka lupa kalau Perjasi mereka kerap menunggak gaji pemainnya namun dianggap angin PTI dengan cap profesional. Jikminia lupa kalau selain permainan bola semata mereka juga perlu memuliakan pemainnya. Mereka mendukung gelaran liga tanpa supervisi profesional.
Suporter timnas juga ditakut-takuti dengan suspensi laga internasional yang akan terjadi di masa sangsi PIPA. Padahal timnas mau main dan prestasi ajang apaan sih dalam waktu dekat? Di masa nyaman saja gak bisa berprestasi kok.
Terakhir PTI meracuni para pemain untuk ikut bersuara di media perihal ketakjelasan kompetisi yang mengkhawatirkan mereka. Di sini kita bingung. Bukankah mereka pemain profesional yang punya kontrak tentang gaji. Harusnya dimundurkan setahun satu selama apapun mereka tetap aman karena toh pembayaran mereka tetap. Tanding atau tidak kan dalam rentang waktu dalam kontrak mereka tatap diurus klub, mengapa takut?
Nah ini membuka beberapa kemungkinan. Pertama, para pemain memang tak punya kontrak profesional. Kedua, mereka tak paham isi kontrak dan rela saja dirugikan. Ketiga, melihat yang sudah-sudah mereka menebak kontrak tak akan dibayarkan. Keempat, maju ke pengadilan pun tak akan membuat klub memenuhi kontrak dengan alasan penghentian kompetisi.
Sejauh ini skor sudah 2-0. PTI makin terpojok. Kita tunggu saja kelanjutan laga ini yang akan berakhir bila salah satunya terlucuti tanpa daya.
Sekian cerita kawan saya dari Insomnia. Di negeri saya semoga klub-klubnya tak setolol klub di Insomnia yang mau kamikaze hanya karena 2 klub bermasalah. Saran saya buat persepakbolaan Insomnia: Tinggalkan 2 klub itu dan jalan terus; atau sembuhkan dulu 2 klub itu dan lanjutkan kompetisi tapi tetap tanpa PTI.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H