Dalam konteks kenegaraan, telah banyak dicetuskan teorinya tentang prinsip, sistem, sampai pada konsep kenegaraan oleh para filsuf monumnetal. Mereka berangkat dari situasi dunianya masing-masing dalam merangkai teorinya. Teori-teori negara dan sosialpun lahir beragam model dan bentuk. Sebut saja J.J Roessau dengan teori kontrak sosialnya, Montesquieu dengan trias politikanya, Marx dengan Komunismenya, Edmund Burke dengan Konservatisme politiknya, Hobbes dengan negara Leviathannya dan lain sebagainya.
Kaitannya dengan kondisi politik di Indonesia. Konsep kenegaran Indonesia juga dilahirkan oleh situasi dunia nusantara saat itu. Pancasila sebagai anak kandung situasi nusantara, dengan penggalian kembali oleh Soekarno, lahir sebagai solusi permasalahan politik dan sosial dalam rangka pembentukan sebuah negara merdeka. Pancasila lahir dengan nilai-nilai moral dan kenegaraannya.
Seiring dengan berjalannya waktu, budaya sosial-politik dalam masyarakat Indonesia terus berkembang dan mulai berubah arah. Nilai-nilai pancaila semakin lama semakin terpinggirkan baik oleh masyarakat maupun pemerintah itu sendiri. Hal ini kemudaian mengakibatkan pola kehidupan serta keinginan antara negara dan masyarakat berbeda haluan. Negara berkehendak ini, masyarakat berkeinginan itu.
Dewasa ini, antara kehendak negara dan keinginan masyarakat semakin terlihat perbedaannya. Hal ini tentu tidak diharapkan untuk terus terjadi, mengingat misi Indonesia dalam pembangunan dalam berbagai aspek khsusnya maritim terus dicanangkan. Selain itu, Pengurangan persentase rakyat miskin yang menjadi salah satu indikator utama pembangunan negara akan ikut terhambat.
Ketika negara berkehendak membangun proyek kereta cepat Jakarta-Bandung, keinginan masyarakat tidak diindahkan. Padahal keinginan sejumlah masyarakat di sejumlah daerah menuntut pembangunan infrastruktur yang biayanya relatif lebih murah dari pada proyek itu. Rencana pembangunan gedung perpustakaan DPR yang akan menelan biaya Rp 500 milliar juga merupakan kehendak negara yang tidak sejalan dengan keinginan masyarakat. Negara, dalam hal ini pemerintah terus bersikukuh dengan kehendaknya, dengan alasan simbol intelektial negara, bahkan wakil ketua MPR Mahyuddin mengungkapakan perpustakaan tersbut adalah sesuatu yang dapat dibanggakan.
Padahal kesejahteraan rakyat merupakan kebanggan negara yang paling prinsip. Berkenaan dengan itu, keinginan masyarakat yang banyak dilontarkan melalui media online, cetak, elektronik dan lain-lain menginginkan pembangunan perpustakaan difokuskan di sekolah di daerah-daerah karena masih banyaknya sekolah di sejumlah daerah yang belum mempunyai perpustakaan. Lagi-lagi keinginan antara negara dan rakyat berbeda jauh. Padahal sangat jelas dengan tuntutan kondisi negara bahwa kehendak negera dalam rencana pembangunan perpustakaan DPR maupun proyek kereta cepat Jakarta-Bandung itu belum pada waktunya.
Taggapan negatif masyarakat terhadap pemerintah dalam hal ini memang wajar dilontarkan. Mengingat keadaan infrastruktur di sejumlah daerah di Indonesia terutama di wilayah timur nusantara dan perbatasan masih tergolong memprihatinkan. Hal ini semestinya menjadi pertimbangan pemerintah dalam menentukan kehendaknya bukan malah bertinadak semaunya. Terjadinya dualisme antara negara dan masyarakat secara tidak langsung juga telah merusak demokrasi. Makna filosofis “dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat” tidak mendapat posisi lagi dalam keadaan semacam ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H