Indonesia merupakan negara yang memiliki perkebunan kelapa sawit terluas di dunia. Menurut BPS (2019), luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia mencapai 14,60 juta hektar dengan produksi minyak kelapa sawit 48,42 juta ton setiap tahunnya.Â
Perkebunan kelapa sawit di Indonesia terus mengalami peningkatan. Sejak dikembangkannya tanaman kelapa sawit di Indonesia pada tahun 60-an, luas areal perkebunan kelapa sawit mengalami perkembangan yang sangat pesat. Bila pada 1967 Indonesia hanya memiliki areal perkebunan kelapa sawit seluas 105.808 hektar, pada 1997 telah membengkak menjadi 2,5 juta hektar. Pertumbuhan yang pesat terjadi pada kurun waktu 1990-1997, dimana terjadi penambahan luas areal tanam rata-rata 200.000 hektar setiap tahunnya, yang sebagian besar terjadi pada perkebunan swasta.
Besarnya industri sawit di Indonesia tentu memberikan dampak yang sama besarnya terhadap lingkungan sekitar lahan sawit seperti sifat fisik, struktur, dan tekstur tanah. Banyaknya praktik deforestasi dan pembukaan lahan untuk alih fungsi ke perkebunan sawit juga sangat berdampak pada perubahan iklim, erosi pada tanah, kualitas air, dan keanekaragaman hayati di lingkungan sekitar lahan.
Kerakusan unsur hara dan kebutahan air tanaman sawit sangat tinggi. Tidak kurang dari 1.000 liter air dibutuhkan setiap hari untuk 1 hektar kebun kelapa sawit. Penanaman kelapa sawit skala besar menimbulkan ketidaksetimbangan unsur hara dalam tanah. Tanaman sawit menyerap unsur hara dalam jumlah yang besar, membuat tekstur tanah menjadi kering dan membutuhkan usaha lebih untuk dilakukan pemulihan. Hal ini seringkali mengakibatkan banjir karena berkurangnya kemampuan tanah untuk mengikat air.Â
Tanah yang ditanami hanya satu jenis tanaman secara terus menerus akan mengakibatkan menurunnya kualitas tanah secara periodik. Perkebunan sawit dapat merusak, karena setelah 25 tahun masa panen, lahan kelapa sawit yang ditinggalkan akan menjadi semak belukar atau lahan kritis baru. Tanah akan kehabisan nutrisi, terutama pada lingkungan yang kengandung kadar asam tinggi, sehingga menjadikan wilayah tersebut tanpa vegetasi selain rumpur-rumput liar yang akan mudah sekali terbakar jika terjadi musim kemarau.
Hutan sendiri memiliki keanekaragaman hayati yang sedemikian rupa guna melakukan penyerapan karbon. Tidak sama rasanya bila dibandingkan kemampuan pohon kelapa sawit dalam menyerap karbon. Kemampuan menyerap karbon yang dimiliki sawit tentu tidak bisa menjadi justifikasi pembukaan lahan dan deforestasi yang dilakukan pada hutan alami. Oleh karena itu, penanaman sawit dengan deforestasi hutan merupakan tindakan yang hanya akan memperburuk keadaan (iklim).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H