Jakarta - Dalam Persidangan yang digelar di ruang 3 Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan nomor perkara 813/pdt.G/2020 yang diketuai oleh Majelis Hakim Ahmad Suhel beserta Majelis anggota pada Rabu (02/11/20) lalu.
Dalam persidangan, menurut Kuasa hukum penggugat, Amstrong Sembiring, SH.,MH, Hakim ketua telah salah manafsirkan hukum dengan istilah prinsipal, karena didalam hukum acara perdata, apabila seseorang ingin mewakili orang lain dihadapan pengadilan maka orang tersebut harus memiliki kuasa yang diberikan oleh orang lain itu dalam hal ini orang lain itu adalah prinsipal (lastgever), maka barulah orang itu dapat mewakili kepentingan orang lain dihadapan pengadilan, tegasnya saat berada di komisi yudisial jakarta, Kamis (3/11/20).
Diketahui, Keberadaan Komisi Yudisial merupakan contoh suprastruktur politik di Indonesia. Tepatnya, Komisi Yudisial menjadi salah satu lembaga yudikatif yang bertugas menjalankan kekuasaan negara menurut UUD 1945 di bidang kehakiman bersama dengan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Dasar hukum Komisi Yudisial yang ada di Indonesia sangatlah jelas, yaitu UUD 1945 dan undang-undang. Oleh karena itu, lembaga ini juga memiliki tugas dan fungsi yang jelas di sistem pemerintahan Indonesia.
Berdasarkan keputusan Mahkamah Agung No. 22/P/HUM/2018 yang mengabulkan permohonan hak uji materiil dari para pemohon, terhadap Pasal 11 dan pasal 12 permenhukham No. 1 Tahun 2018 Tentang Paralegal Dalam Pemberian Bantuan Hukum, dan Mengingat dan Menimbang ketentuan-ketentuan peraturan-peraturan di atas, maka saya berpendapat bahwa, dengan dicabutnya Pasal 11 dan 12 Permenhukham No 1 Tahun 2018, maka Paralegal yang direkrut oleh Lembaga Bantuan Hukum untuk dididik dan dilatih sebagai Pemberi Bantuan Hukum hanya dapat memberikan Bantuan Hukum yang tersebut di dalam Pasal 13 dan Pasal 14 Permenhukham No 1 Tahun 2018.
Dalam Pasal 13, Pemberian Bantuan Hukum secara nonlitigasi oleh Paralegal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dilakukan melalui kegiatan, penyuluhan hukum; konsultasi hukum; investigasi perkara, baik secara elektronik maupun nonelektronik; penelitian hukum; mediasi; negosiasi; pemberdayaan masyarakat; pendampingan di luar pengadilan; dan/atau perancangan dokumen hukum.
Â
Dalam Pasal 14, Selain memberikan Bantuan Hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Paralegal dapat memberikan pelayanan hukum berupa, advokasi kebijakan perangkat daerah tingkat desa/kelurahan sampai dengan tingkat kabupaten/kota; pendampingan program atau kegiatan yang dikelola oleh kementerian, lembaga pemerintah nonkementerian, pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah kabupaten/kota, atau pemerintah desa; dan/atau bekerja sama dengan penyuluh hukum untuk membentuk dan/atau membina kelompok keluarga sadar hukum. Pemberian pelayanan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di bawah koordinasi Pemberi Bantuan Hukum.
Â
Bila memperhatikan klausal Pasal 13 dan Pasal 14, maka tidak ada satu klausal pun di dalam Pasal pada Permenhukham No. 1 Tahun 2018 yang memperbolehkan Paralegal untuk menangani kasus perkara hukum melalui Litigasi, miskipun didampingi seorang Advokat, mengingat Pasal 12 ayat (3) juga turut digugurkan oleh Keputusan Mahkamah Agung.(why).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H