Mohon tunggu...
Qintara Rayyan Anindita
Qintara Rayyan Anindita Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

.308

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Hati-Hati di Dunia Maya: Ancaman Kejahatan Transnasional Terorganisasi pada Era Globalisasi

1 Maret 2023   21:41 Diperbarui: 1 Maret 2023   21:45 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Apakah anda pernah mengalami penipuan atau menjadi korban investasi bodong? Kejahatan Transnasional Terorganisasi tidak hanya berupa penipuan atau perdagangan illegal semata. Cyberporn (pornografi) dan perdagangan manusia juga termasuk sebagai tindak pidana internasional. Perkembangan teknologi sangat berkontribusi terhadap eksistensi kejahatan transnasional terorganisasi, terlebih lagi pada era globalisasi.

Batas wilayah dan jarak antar negara tidak lagi terbatas akibat kemajuan teknologi, penyebaran informasi ikut pula mempermudah proses komunikasi antar individu. Internet tidak membatasi umur penggunanya dalam mengakses fitur-fitur di Dunia Maya. Akan tetapi, akses internet kerap kali dieksploitasi dan disalahgunakan demi kepentingan pribadi maupun golongan. Perkembangan teknologi telah mempengaruhi sekaligus mengurangi peran manusia didalam upaya penciptaan keamanan. Oleh karena itu, diperlukan perhatian lebih saat mengakses internet, terutama bagi anak-anak yang harus didampingi oleh orang dewasa agar tidak menjadi korban kejahatan transnasional.

United Nations Convention Against Transnational Organized Crime 2000 mendefinisikan kejahatan transnasional  sebagai kejahatan yang dilakukan di lebih dari satu Negara; dilakukan   di satu Negara, tapi bagian penting dari kegiatan persiapan,  perencanaan,  pengarahan atau kontrol terjadi di Negara lain; dilakukan di satu Negara namun melibatkan suatu kelompok penjahat terorganisasi yang terlibat dalam kegiatan kriminal pada lebih dari satu Negara; atau dilakukan pada satu Negara tetapi memiliki akibat utama di Negara lain. Konvensi tersebut sudah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang No.5 Tahun 2009 mengenai Pengesahan United Nations Convention Against Transnational Organized Crime 2000. Maka, Indonesia telah memiliki kewajiban hukum tertentu guna mencegah dan menanggulangi kejahatan transnasional terorganisir.

Kejahatan transnasional terorganisasi telah marak terjadi sebelum era digital. Perdagangan manusia, narkotika, senjata api dan lain sebagainya merupakan bagian dari beragam jenis kejahatan transnasional. Akan tetapi, globalisasi secara tidak langsung ikut berkontribusi terhadap kejahatan transnasional yang terorganisasi. Perkembangan teknologi telah melahirkan jenis-jenis kejahatan transnasional yang bersifat membahayakan dan meresahkan masyarakat global. Tidak jarang ditemukan kelompok kejahatan transnasional yang terorganisasi yang memperoleh keuntungan dengan menipu atau meretas data-data pribadi banyak orang.

Data dari FTC (Federal Trade Commission) menyatakan bahwa terdapat banyak sekali jumlah kelompok penjahat transnasional yang memanfaatkan platform media sosial untuk melakukan eksploitasi dan kejahatan-kejahatan transnasional seperti penipuan melalui layanan populer seperti Twitter, Instagram, TikTok, dan Twitter. Kerugian yang diakibatkan oleh kelompok penjahat transnasional setidaknya mencapai 770 juta dollar Amerika pada tahun 2021. Terlebih lagi, para pelaku kejahatan transnasional juga memanfaatkan platform media sosial tersebut untuk menarik korban perdagangan manusia. Pada tahun 2017, diperkirakan sejumlah 70.000 sampai 80.000 korban perdagangan seks anak di Indonesia. Wisata eksploitasi anak secara seksual banyak ditemukan di Kepulauan Riau yang berbatasan dengan Singapura. 

Berdasarkan Laporan Tahunan Perdaganga Orang di Tahun 2021 oleh Kedutaan Besar dan Konsulat Amerika Serikat di Indonesia; Wisatawan Timur Tengah kerap kali mengunjungi Indonesia, terutama ke kawasan Puncak di Bogor, dan rela membayar lebih dari 700 dollar untuk "perkawinan kontrak" yang pada umumnya memiliki durasi selama seminggu dan memperbolehkan mereka untuk melakukan hubungan seksual di luar nikah tanpa melanggar hukum Islam. Anak-anak perempuan berusia sekitar 9 tahun dan perempuan-perempuan dewasa yang "dinikahi" oleh turis-turis tersebut adalah korban perdagangan seks. Tidak hanya itu, banyak perempuan Indonesia yang direkrut di luar negeri untuk pekerjaan yang seolah-olah nampak legal dan kemudian dieksploitasi dalam perdagangan manusia di luar negeri, termasuk di Timor-Leste.

Penulis berpendapat bahwa sudah seharusnya kita lebih berhati-hati saat mengakses internet demi menhindari hal-hal yang tidak diinginkan, seperti menjadi korban kejahatan transnasional yang terorganisasi.  Walaupun Pemerintah sudah berupaya secara signifikan, standar minimum pemberantasan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) belum juga terpenuhi. Sebaiknya Pemerintah menyelenggarakan kegiatan-kegiatan edukatif guna meningkatkan kesadaran masyarakat akan perdagangan manusia, termasuk menggelar kegiatan-kegiatan peningkatan kesadaran yang berfokus kepada prosedur migrasi yang legal untuk tujuan bekerja dan hak-hak pekerja migran agar tidak menjadi korban eksploitasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun