Netizen Paling Tidak Sopan
Awal tahun 2021, jagat digital Indonesia dihebohkan dengan hasil riset yang dikeluarkan oleh Microsoft bertajuk Digital Civility Index (DCI). Riset tersebut fokus meneliti mengenai tingkat kesopanan warga digital, Indonesia  mendapatkan skor nilai 76 dan menjadikannya sebagai netizen paling tidak sopan se-Asia Tenggara. (Kompas, 2021).
Hadirnya dunia digital juga melahirkan pula masyarakat baru yang disebut dengan masyarakat digital/maya (Cyber Community). Hubungan-hubungan sosialnya tidak jauh dengan masyarakat nyata, karena nilai-nilai dan proses sosial yang terjadi di masyarakat digital itu, sebagian ada yang diadopsi dari masyarakat nyata ada juga yang muncul dalam ranah dunia digital itu sendiri. Interaksi sosial, kelompok sosial, kebudayaan, stratifikasi ssial, hingga perubahan sosial ini terjadi pula sebagaimana yang terjadi juga dalam masyarakat digital.
Kembali pada penobatan netizen Indonesia sebagai netizen yang tidak sopan tadi, sebuah pertanyaan muncul, mengapa hal itu bisa terjadi? Indikator penilaian tersebut mengacu kepada 3 aspek, yakni perihal penyebaran hoaks, tindak penipuan, juga ujaran kebencian yang sering kali dijumpai dalam aktivitas netizen di negara berkode +62 (Indonesia).
Pertama, perihal hoaks. Hoaks menjadi masalah utama yang diperangi baik oleh pemerintah maupun masyarakat itu sendiri dalam dunia digital. Sebagian berasumsi, pelaku penyebar hoaks itu biasanya mereka-mereka yang berasal dari kalangan tua dan seringkali terjadi di grup-grup keluarga.Â
Padahal faktanya, hoaks tak mengenal usia, siapapun, baik tua atau muda bisa terjangkit virus yang satu ini. Hal ini bisa terjadi karena ketidaktahuan, mengikuti tren, dan malasnya melakukan cek dan ricek keabsahan sebuah informasi yang diterima. Oleh karena itu, selain upaya represif dalam bentuk kebijakan dari pemerintah, perlu juga diberlakukan usaha preventif atau pencegahan dengan menanamkan dan mengedukasikan pentingnya suatu literasi digital. Masyarakat digital harus bisa menilai juga memilah apakah informasi yang ia terima itu bisa berupa fakta-informasi, mis-informasi, atau dis-informasi.
Kedua, penipuan. Jangan salah, dunia digital juga tidak menutup kemungkinan akan sisi-sisi gelap yang menyertainya. Penipuan online, kini marak terjadi dan telah memakan banyak korban. Kebanyakan, modus yang mereka gunakan dalam aksinya cenderung sama, yakni dengan mengiming-imingi hadiah kepada korban. Berkedok dengan salah satu situs elektronik komersial ternama, lalu meyakinkan dengan gaya yang begitu menghinoptis mangsanya.Â
Mereka yang berkecimpung di dunia online shopping pun pasti sudah tidak asing dengan segala macam modus yang digencarkan para penipu ini. Cara yang digunakan biasanya penipu meminta nomor yang tertera pada kartu ATM, sebagai syarat agar mereka bisa mentransfer sejumlah uang yang harus dibayar. Padahal yang dibutuhkan untuk transfer adalah nomor rekening bukan nomor yang tertera pada kartu ATM. Jika belum mengenal keganjilan ini, maka mereka yang tergelincir akan dengan mudah terkuras saldo ATM-nya. Poin pentingnya, jangan mudah tergiur dengan sesuatu yang instan dan berhati-hatilah jika menemukan transaksi yang beda dari biasanya.
Ketiga, ujaran kebencian (hate speech). Netizen Indonesia terkenal dengan gelar yang melekat pada mereka yakni "Netizen maha benar". Sayangnya sebutan ini cenderung berkonotasi negatif menjadikan pembenaran netizen dalam bertindak apapun, termasuk perihal ujaran kebencian. Coba berselancar pada isu hangat di salah satu media sosial, amati setiap komentar netizen yang tak jarang akan kita temui komentar-komentar yang bersifat kenyinyiran. Sebenarnya, berkomunikasi di media digital memang serba rancu. Jangankan yang bernarasi negatif, yang biasa aja bisa menjadi multi-tafsir. Inilah kelemahan dari proses komunikasi di dunia digital dan bisa berujung mispersepsi.
Komunikasi yang terjadi di media sosial itu cenderung dominan teks semata. Teks memerlukan upaya pembentukan (encoding)Â dan upaya penafsiran (decoding), hasil yang diterima tentunya akan berbeda-beda mengingat latar belakang para pengguna media sosial yang beragam pula. Menurut Roland Barthers dalam Semiotika, teks menjadi entitas yang bebas dari penafsiran dan si pembuat teks tidak memiliki kuasa atas teks yang dilahirkannya. (Nasrullah, 2017). Â Â Â Â Â