TikTok, yang awalnya cuma dikenal sebagai aplikasi untuk berbagi video-video pendek, sekarang udah jadi fenomena global. Penggunanya nggak cuma anak muda, tapi juga orang dewasa, yang bisa menghabiskan waktu berjam-jam nonton konten yang bukan cuma seru, tapi juga mempengaruhi gaya hidup sehari-hari. Dari tren fashion, produk kecantikan, makanan viral, sampai gadget terbaru, TikTok udah berubah jadi etalase digital yang bikin banyak orang tergerak buat mengikuti apa yang lagi hits.Â
Tapi, di balik keseruan ini, ada fenomena yang lebih dalam, yaitu Fear of Missing Out (FOMO) atau rasa takut ketinggalan tren yang lagi nge-hits. FOMO sendiri menggambarkan kecemasan atau ketakutan kalau-kalau kita ketinggalan sesuatu yang lagi populer atau banyak diminati orang lain. FOMO di TikTok ini jadi makin kuat karena algoritmanya terus-terusan nyodorin konten viral sesuai dengan apa yang kita suka. Akibatnya, kita sering merasa harus ikut tren yang lagi booming, walaupun kadang itu berarti kita ngeluarin uang buat hal-hal yang sebenarnya nggak begitu kita butuhin. Ini yang akhirnya bikin banyak orang terjebak dalam pola konsumtif, gara-gara dorongan FOMO yang dipicu oleh TikTok.Â
TikTok memang berbeda dari platform media sosial lainnya. Dengan durasi video yang singkat dan algoritma yang sangat personal, TikTok berhasil membuat penggunanya merasa terhubung dengan tren tren terbaru. Setiap hari, muncul konten baru yang menciptakan tren di berbagai bidang, mulai dari tantangan tarian yang viral hingga produk yang tiba-tiba menjadi populer karena disarankan oleh selebriti atau influencer. Di sinilah FOMO mulai berperan. Ketika kita melihat banyak orang berbicara tentang suatu produk atau tren, kita merasa seolah-olah ketinggalan jika tidak ikut serta. Takut dianggap "tidak gaul" atau "tidak update" membuat banyak orang terdorong untuk mengikuti tren tersebut.Â
Sebagai contoh, sebuah produk kecantikan yang dipromosikan oleh seorang influencer di TikTok bisa tiba-tiba menjadi sangat populer, bahkan hingga terjual habis dalam waktu singkat. Banyak orang yang merasa terpaksa ikut membelinya meskipun mungkin mereka tidak benar-benar membutuhkan produk tersebut. Mereka takut ketinggalan momen, takut produk itu tak lagi tersedia, atau takut diabaikan oleh lingkaran sosial mereka jika tidak menggunakan produk yang sama. Perasaan ini semakin diperparah oleh konten-konten yang terus muncul di beranda TikTok kita, yang seolah-olah berkata bahwa produk atau tren tersebut adalah sesuatu yang "harus dimiliki."Â
Selain produk kecantikan, tren konsumtif juga dapat dilihat dalam hal gaya hidup. Misalnya, banyak pengguna TikTok yang mempromosikan gaya hidup tertentu, seperti makan di restoran mewah, membeli pakaian desainer, atau berlibur ke destinasi eksotis. Semua ini memicu FOMO yang kuat. Ketika seseorang melihat teman-teman atau tokoh yang mereka ikuti melakukan hal-hal tersebut, mereka merasa perlu mengikuti jejak yang sama untuk tetap dianggap "relevan." Akibatnya, pola pikir ini mendorong perilaku konsumtif yang kadang tidak masuk akal dan tidak terencana.Â
Di sisi lain, algoritma TikTok juga berperan besar dalam memperkuat perilaku konsumtif. Setiap kali kita menonton video tentang suatu produk atau tren, algoritma platform ini akan memunculkan lebih banyak konten yang serupa di beranda kita. Ini menciptakan siklus tanpa akhir di mana kita terus menerus dihadapkan pada tren yang sama, yang pada akhirnya memperkuat perasaan FOMO. Hal ini membuat kita semakin tergoda untuk mengikuti tren tersebut, meskipun mungkin kita sudah tahu bahwa itu tidak diperlukan. TikTok secara tidak langsung telah mengubah cara orang membuat keputusan konsumsi, dengan memanfaatkan psikologi FOMO untuk mendorong perilaku konsumtif.Â
Tidak hanya itu, sifat TikTok yang cepat dan mudah diakses membuat konsumsi konten menjadi begitu instan. Dalam satu sesi singkat, kita bisa menyaksikan berbagai produk viral, ulasan dari pengguna, dan iklan tersembunyi dari influencer. Ketika kita dihadapkan pada begitu banyak pilihan dalam waktu yang sangat singkat, kita cenderung membuat keputusan impulsif. Pembelian yang awalnya tidak kita rencanakan, tiba-tiba terasa mendesak karena pengaruh FOMO yang begitu kuat. Kita terdorong untuk membeli produk sebelum "ketinggalan momen" atau sebelum produk tersebut habis terjual. Rasa takut ini, meskipun sering tidak berdasar, menciptakan pola pikir yang terus memaksa kita untuk menjadi lebih konsumtif.Â
Namun, tidak semua orang mampu mengelola dampak dari FOMO ini. Banyak orang, terutama remaja dan kaum muda, menjadi korban dari tren konsumtif yang dipicu oleh media sosial. Mereka menghabiskan uang untuk barang-barang yang sebenarnya tidak mereka butuhkan hanya karena takut tertinggal dari lingkungan sosial mereka. Akibatnya, perilaku konsumtif ini tidak hanya memengaruhi kondisi finansial mereka, tetapi juga menciptakan kecemasan dan ketidakpuasan diri. Ketika seseorang terus-menerus membandingkan dirinya dengan orang lain di media sosial, mereka merasa seolah-olah tidak pernah cukup. Ini memperkuat siklus FOMO dan konsumsi yang berlebihan.Â
Fenomena konsumtif yang dipicu oleh FOMO dan media sosial seperti TikTok merupakan salah satu dampak dari perkembangan teknologi yang harus kita sadari dan kelola dengan bijak. Di era digital ini, kita tidak bisa menghindari eksposur terhadap tren dan pengaruh dari lingkungan sosial kita. Namun, penting untuk mengingat bahwa tidak semua yang kita lihat di media sosial adalah kebutuhan yang nyata. TikTok, dengan konten-konten viralnya, memang mampu menciptakan perasaan FOMO yang sangat kuat, tetapi kita harus belajar untuk mengendalikan dorongan tersebut. Dengan meningkatkan kesadaran akan perilaku konsumtif kita dan menilai kembali apa yang benar-benar penting, kita bisa membebaskan diri dari jeratan FOMO yang mengendalikan pikiran kita.Â
Pada akhirnya, kunci dari semua ini adalah kesadaran diri. Di tengah derasnya arus tren yang datang dan pergi, kita harus bisa membedakan mana yang benar-benar kita butuhkan dan mana yang hanya sekadar keinginan yang dipicu oleh tekanan sosial. TikTok mungkin akan terus memikat dengan tren tren barunya yang menggoda, memancing rasa takut ketinggalan yang tidak pernah berakhir. Namun, di sinilah tantangan terbesarnya: bagaimana kita tetap bisa menjadi diri sendiri di tengah hiruk-pikuk dunia digital yang tak henti-hentinya menawarkan sesuatu yang baru. Algoritma boleh mengarahkan, tapi keputusan terakhir tetap ada di tangan kita. Kendali penuh atas keputusan konsumsi ada pada diri kita sendiri, dan dengan kesadaran itu, kita bisa terhindar dari jebakan FOMO yang terus-menerus membayangi. Sebab, pada akhirnya, yang paling penting adalah apa yang membuat kita bahagia, bukan apa yang sedang viral di layar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H