Baru kali ini kita melihat adanya ungkapan bernada penyesalan dari Wapres Boediono. Pernyataan tentang salah langkahnya ini bisa ditafsirkan sebagai sebuah bentuk kekecewaan akan jabatan yang diembannya sekarang. Apakah ini juga berarti nasib Boediono akan sama dengan Sri Mulyani? Dimana keduanya berada pada tempat dan waktu yang salah. Keintelektualan mereka ternyata harus tenggelam dengan irama politik yang hingar bingar. Mereka selama ini hebat dan disegani dalam profesinya tapi menjadi bulan-bulanan dan cibiran oleh para politisi. Skandal Bank Century boleh dikata sudah menelan satu korban. Dan tiba-tiba Boediono mengeluarkan pernyataan tersebut seakan-akan mau membuka tabir gelap dibalik mega skandal ini. Tekanan yang berat ini sedikit banyaknya tentu berpengaruh pada keseharian Boediono. Apalagi dengan latar belakang akademisnya, yang sangat kontras dengan dinamika politik praktis. Hal ini tentu bisa menjadi beban psikologis. Semuanya jadi serba salah. Menuruti apa kata hati dianggap tidak loyal dan sebaliknya ikuti arus tapi perasaan bersalah membuat tidur tidak nyenyak. Beda halnya jika seorang politisi tulen yang mengalaminya. Tentu akan menjadi lebih mudah dan semakin memompa adrenalin. Kasus akademisi yang tergilas oleh ganasnya roda politik sepertinya tidak akan pernah berhenti sepanjang sejarah. Seorang Bung Hatta "terpaksa" lengser karena merasa sudah tidak nyaman dengan kondisi saat itu. Habibie pun juga merasakan beban seperti itu. Dalam hitungan-hitungan beliau adalah keliru dan tidak masuk akal jika dirinya maju jadi capres sedangkan laporan pertanggung jawabannya ditolak MPR. Kedua tokoh tersebut telah memilih jalannya masing-masing. Mereka tidak mau mempertaruhkan reputasinya. Dan nama mereka tercatat dalam sejarah bangsa Indonesia. Apakah Boediono akan memilih jalan seperti seniornya tersebut atau tetap merasa nyaman berlindung dibalik kemeja tuannya? Seperti kita lihat dalam Kongres Partai Demokrat, Andi Mallarangeng (AM) dipecundangi juga sesamanya akademisi. Godaan politik memang sangat menggiurkan dan bikin mabuk kepayang. Sangat disayangkan jika seseorang yang mempunyai reputasi hebat dibidang keilmuannya justru terperangkap dalam lingkaran setan dunia perpolitikan. Produk hasil senyawa antara akademisi dengan politisi menjadi obat mujarab untuk melupakan nestapa di dunia pendidikan kita yang terlanjur babak belur. Jalan pintas untuk segera meraih impian semu. Sayang seribu sayang memang. foto: matanews.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H