Mohon tunggu...
Qey Saputra
Qey Saputra Mohon Tunggu... Guru - Guru dan Penggiat Literasi

A. Deni Saputra adalah seorang guru dan penggiat literasi. Ia memiliki hobi menulis. Selain menulis puisi, beberapa artikel karya ilmiah mengenai sastra dan kebudayaan pernah dimuat di jurnal kampus Semiotika dan Literasi. Ia pun penggiat literasi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Perempuan, Patriarki, dan Seni Tradisi

14 Mei 2024   11:33 Diperbarui: 14 Mei 2024   12:06 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perempuan, Patriarki, dan Seni Tradisi

(ADS)

Perbincangan tentang perempuan dan seni tradisi merupakan kajian yang menarik.  Perempuan seperti tandha', ronggeng, dan gandrung telah menjadi daya tarik setiap pertunjukan seni tradisi. Mereka adalah para penyanyi dan penari yang suara dan gerakannya disucikan dan dikecam oleh norma-norma masyarakat. Bahkan sering digiring dalam pemaknaan dan penerimaan sebagai pihak yang terpojok, penggoda duniawi, dan sederet julukan yang serba tidak mengenakkan serta menjadi sasaran cemooh, sindiran, dan fatwa haram masyarakat. Stereotif itu harus ditelan sebagai dampak dari konstruksi relasi kuasa tertentu yang merasa terusik oleh perilaku penari di atas pentas.

Pada perkembangannya di negara kita, selama ini mengisyaratkan bahwa perempuan dan seni tradisi tidak hanya diartikan sebagai hiburan atau ekspresi diri sebuah komunitas lokal, melainkan juga berhadapan dengan dua kekuatan: agama dan negara. Secara politis, negara dan agama tidak hanya menempatkan perempuan seni tradisi sebagai subordinat, melainkan juga merepresentasi dan membatasi keberadaan mereka. Dalam konteks ini agama bukanlah wahyu atau material teks yang bersifat Illahiah, melainkan serangkaian penafsiran yang mewujud dalam tataran pemikiran maupun realitas sosio-kultural dalam konteks ruang dan waktu tertentu. Agama lebih berupa realitas manusiawi yang terbentuk atas dasar interaksi antarberbagai aspek yang kasat mata dengan makna yang diproduksi dari pembacaan atas material teks tersebut.  

Perempuan dalam  seni tradisi memperlihatkan terdapat pemihakan terhadap perempuan yang dianggap subaltern. Di samping juga pikiran merasa bertanggung jawab untuk melakukan pemberdayaan terhadap pihak lain. Dari sini muncullah asumsi dasar untuk melesatkan hak otoritatif guna mengentaskan perempuan dari ketertindasan.

Bila kelompok intelektual (peneliti, akademisi, dan budayawan) ingin melakukan pendampingan bagi kelompok subaltern, maka yang diperlukan adalah melaporkan realitas subaltern dan kesubalternitas mereka yang tidak terwakili dalam ruang sosial. Salah satu hambatan dalam kesetaraan jender adalah adanya ideologi patriarki, karena konsep kekuasaan secara tradisional diasosiasikan dengan maskulinitas. Sampai saat ini ideologi patriarki masih menjadi ideologi dominan. Perspektif ini menempatkan perempuan berada pada status subordinat daripada sebagai pribadi yang setara. Dalam mencari solusi atas pandangan ideologis tersebut menjadi kompleks karena telah melahirkan sistem nilai, norma, dan budaya yang terlembaga yang relatif mantap dan ajeg. Bahkan telah menjadi konstruksi yang kokoh.

Hal lain yang menyebabkan lemahnya posisi perempuan seni tradisi adalah upaya dunia industri kapitalis yang telah menjadikan perempuan seni tradisi sebagai komoditas seni. Perempuan seni tradisi dipandang sebagai variabel faktor produksi yang nilainya sama dengan faktor-faktor produksi lainnya. Dalam kasus perempuan seni tradisi, mereka telah ditempatkan oleh kaum lelaki yang umumnya para pengelola sebagai produk yang ditawarkan oleh sistem pertunjukan untuk dijual. Selain itu, sikap ketidakberdayaan mereka menyikapi tindak ketidakadilan tersebut sangat berhubungan dengan kondisi internal mereka sendiri. Dilihat dari pendidikan umumnya perempuan seni tradisi hanya memiliki pendidikan formal yang rendah dengan status sosial-ekonomi yang tidak mencukupi.       

Fenomena tersebut terjadi karena bias gender masih sangat menguasai perempuan, sehingga hak-hak, status, dan akses atas kekuasaan atas dirinya perlu untuk diaktualisasikan. Perempuan seni tradisi seharusnya juga menikmati hak-hak seperti hak sipil dan politik, hak ekonomi dan sosial, dan yang lebih penting adalah hak untuk bebas dari segala bentuk kekerasan baik di ruang publik maupun domestik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun