Mohon tunggu...
Cita Ariani
Cita Ariani Mohon Tunggu... lainnya -

Aku tidak bisa menulis dgn baik tetapi selalu ingin belajar menulis hingga baik

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Menjadi Si Pengeliling Dunia

29 Oktober 2012   15:13 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:15 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Turunin!!!” Aku hanya diam… “Turunin lagi gigi belakang!!” Aku hanya diam..diposisi seperti ini, yang aku lakukan hanya menuruti apa katanya..suara yang akan aku keluarkanpun pasti akan menambah rasa tenggorokan kering karena sedang terengah-engah. “hah..hah..hah”, keringatku turun dan asam laktat sudah tertumpuk dibetis. “Kalau masih berat turunin lagi sampai gigi satu” “Ayo semangat…dikit lagi!!” Aku semakin menggoes Tanjakan pertama kalinya ini walau tak seberapa terjalnya cukup membuat aku mengerti. Pantas saja dia selalu bilang energi dan semangat orang lain bisa memberikan letupan energi secara tiba-tiba. Aku jadi teringat kata-katanya “Materi dan bentuk apapun tidak senilai harganya dengan kata-kata semangat serta doa yang diucapkan orang-orang di website atau facebook” “Mereka yang membuat gw bertahan disetiap tanjakan dan turunan”. “Gowes terus jangan sampai berhenti” dalam hatiku ∞ Aku memang bukan penghobi sepeda, apapun itu aku belum pernah menjadikan sepeda sebagai aktivitas keseharianku walau cuma sekedar berolahraga. “Yang ini bagaimana? Giant! Pas buat touring” tanya Embang si pengeliling dunia kepadaku “terserah! Aku ga ngerti, ikut aja!” Setelah mondar mandir, berpindah-pindah toko, kami kembali ke toko pertama dengan pilihan pertama “Udah mantap ini aja! Giant hitam fcr 3100” katanya Aku diam tanda setuju “Kalau kamu raptor, aku kasih nama sepeda ini dragon!” “hahaha kenapa dragon” “Karena beli di Cina kan, terus pas sama shio gw naga” Ia malah semakin tertawa ∞ “Hari pertama kita 74 km, bagaimana? Besok mau ditambah atau gimana?” “Slow aja, pokoknya seenaknya aku ga mau terburu-buru pokoknya” jawabku Tentu saja bisa sejauh itu. Jalannya hanya datar, keluar dari kota Chengdu. Besok mungkin bisa seperti ini lagi jika masih menelusuri jalan kota yang cenderung datar dan berupa jalan tol. “Kamu bosan ga kalau gowes dijalan tol” “engga! Masih awal kali ya, memang kamu ga suka” “ngebosenin lebih enak lewat desa-desa, pemandangannya bagus ya tapi ga datar, naik turun dan memang lebih jauh” Aku cenderung suka jalan dikota, banyak rumah makan tersedia tanpa perlu repot ngeluarin kompor bensin dan teman-temannya. Melihat kota-kota Cina walaupun semuanya berbentuk sama. Tidak ada rumah, yang ada apartemen menjulang tinggi berbaris rapih, tentunya lantai paling bawah pasti toko-toko berjejer. Kota-kotanya minimal seperti Kota Surabaya di Indonesia sana. Jalannya lebar dengan simbol-simbol yang jelas, jalur sepeda tersedia selalu, disisi paling kanan atau kiri dan tentunya jarang macet. Yaa walau begitu kadang membuat emosi, mereka jarang mematuhi peraturan lalu lintas..terobos sana sini, jalur kanan jadi kiri, kiri jadi kanan, mobil masuk jalur sepeda, dan klakson tidak dihiraukan. Bukan berarti negara ini bebas dari peraturan, bagi pengendara mobil dan motor segala pelanggaran dikenakan denda yang akan dikumulatifkan bersamaan dengan pajak kendaraan. Segala pelanggaran terekam baik melalui CCTV, pengendara mobil setiap menitnya dipotret satu per satu disudut lampu merah tertentu. Bagi pengendara sepeda? Aman, karena itu banyak wanita-wanita kantoran sekalipun lebih memilih bersepeda sebagai alat transportasinya. Polisi jarang tampak apalagi menyetop secara tiba-tiba, seperti dinegaraku yang ada di selatan sekarang ini. Polisi datang hanya ketika terjadi tabrakan atau kecelakan. Pengendara boleh seenaknya menggunakan jalur lain asal tidak terjadi kecelakaan, jika terjadi denda bisa ribuan Yuan (*mata uang cina). Tak heran mereka sering tidak menghiraukan klakson, yang penting berhati-hati pada pengguna jalan lain. Karena itu aku tak pernah melihat orang memaki-maki dijalan walaupun motor menggunakan jalur si pejalan kaki. Ditengah kota kami sering terlihat aneh, mata-mata terperangkap mengikuti kemana kami bergerak. Kami memang jarang, bukan! malah tidak pernah, melihat orang asing, karena itu kami terlihat asing bagi mereka. Terkadang menghampiri dan bertanya dengan pedenya, dengan bahasa mereka yang membuat kami selalu jawab “tīngbùdǒng” (tidak mengerti) tetap saja pede, terus ditanya. Atau hanya sekedar mendekat dan melihat apa yang sedang kami lakukan. Kami serasa pasangan pangeran William dan putri Diana yang selalu menjadi pusat perhatian atau sepasang orang gila?! “Sudah disini saja kita bermalam” kata embang memecah keheningan gowesan malam Hah ditengah taman kota?! ya memang mau bagaimana lagi, satu-satunya jalan mendirikan tenda ditempat seperti ini, ditengah gedung-gedung menjulang terselip taman kecil cukup menutup kami dari penglihatan orang ketika malam. “Kita harus bangun sebelum jam 6” ∞ Jam 6?! Nyatanya kami bangun jam 7. Kami segera bergegas merapikan tenda. “Ya Allaaahh..disundut rokok” embang tiba-tiba berteriak “apanya?” “Tendanyalah! ^$*&(#*@*@^*^” segala macam binatang disebutnya “Kaya gini kalau ngecamp ditengah kota bukan binatang buas yang ditakuti tapi orang buas, gw pertama kalinya diginiin” Seperti memiliki rumah yang dibakar sebagian atapnya, tentu saja dia marah. Satu-satunya rumah portable-nya dijaili orang tanpa tujuan jelas. Satu-satu rumah pelindung dikala lelah dan letih, hujan dan panas setelah seharian bersepeda. Terlihat para manula mulai berdatangan untuk berolahraga. Kami tidak terbawa tergesa-gesa. Walau sudah ada petugas kebersihan datang membersihkan lokasi kami. Dia tak mau tinggalkan tenda bolongnya dalam packing dan segera pergi. Kami selesaikan itu dulu baru kami berangkat pukul 10. ∞ Sama…datar, landai, aspal, mulus, berpagar dan tol, terik melanda tapi udara sejuk menyumbat keringat. Kami semakin keluar dari kota Chengdu. Ujung Chengdu diakhiri daerah industri yang gersang, truk-truk merayap sangat lambat menghembuskan debu ke mata dan hidung. Untung kami selalu siap dengan syal dan kacamata hitam.

Seperti berada dilautan truk, mobil-mobil besar tak bergerak entah mengantri apa, kami tergeser kesamping jalan seperti pengendara motor lainnya, tanpa mau mengambil jalan si tuan rumah. Kami mengalah, mengambil tepi jalan yang berbatu. “Besok kita sudah mulai menanjak” Aku siap! Sesiap keadaan sekarang apapun keadaannya walaupun sebelumnya olahragapun aku tak pernah. Seenaknya bersepeda sejauh ini mengejar kota Xian, membalap si pengeliling dunia yang berolahraga mati-matian sebelumnya dan bersepeda sejauh ribuan kilometer untuk mencapai tempat ini menuju Xian sedangkan aku begitu enaknya datang tiba-tiba dan sejajar dengan si pengeliling dunia. ∞ “Kita ngecamp dimana?” tanyaku yang melihat jam sudah pukul 9.30 “Pelan-pelan sambil liat-liat tempat yang pas” Tak ada yang pas, sudah malam begini tempat apa yang bisa pas. Ditepi jalan utama antar kota, seperti jalan tol begini sulit mencari lahan yang sesuai, samping kanan kiri yang terlihat tumbuhan tinggi tanpa memberikan lahan untuk kami, penerangan tidak ada, rumah tidak tampak, aku lebih memilih mencari lokasi dekat rumah karena merasa lebih aman. Tak terbayang ditengah jalan ketika kami tidur terlelap, cahaya lampu mobil menangkap tenda kami. Dan orang itu sedang super iseng dengan kejahilan kepada kami. Aku lebih baik tidak memilih itu. “Itu pom bensin, di belakang pom bensin aja ?” tanya embang “bisa emang?” “coba dulu, nanti aku yang tanya” Kami berpura-pura meminta air dan seterusnya meminta ijin. Kami tidak diijinkan padahal hari semakin malam, aku sudah tak sabar mengistirahatkan otot-otot ini. Tak terbayang jika dia sendirian berpesepeda saat ini. Apa yang akan ia lakukan?! “Kita jalan lagi sedikit kedepan, cari lagi” Aku hanya diam dan nurut. Aku tak punya kuasa untuk membuat keputusan karena aku tak memiliki pengalaman. Dia lebih tau apa yang harus dilakukan, aku yakin itu. Beberapa km “Cita, stop disini aja” “Hah serius disini aja” Kali ini kami bukan ditaman kota, ditepi jalan kecil yang memasuki pabrik. Terang, lompong, terbuka, dan luas. Terlihat truk-truk berjejer dipinggir jalan dan truk-truk lain satu persatu menyusul. “Mereka ngapain ya parkir disitu” tanyaku “Mereka kayana juga tidur disini, itu kaya pada siap tidur, aku nanti kesana buat ijin dan nyapa” Ya benar daripada kami diganggu ketika terlelap. Lahannya cukup luas, tanah dan agak dipojok terdapat lantai sepanjang 20 meter bekas bangunan. Aku memilih dilantai tidak seperti embang yang memilih ditanah, karena ku pikir posisi yang tidak terlalu ditengah tidak akan mencolok mata, apalagi tenda kami berwarna orange. “Sial!!banyak ranjau” “Ranjau?” tanyaku “Tuh tai manusia” Aku tidak heran? Memang harus tidak heran walaupun baru beberapa hari dinegara komunis ini. Menurut ceritanyapun benar terbukti, orang-orang ini memang sering membuang hajat dimana-dimana jika tidak ada toilet. Tandanya ada tisu berserakan! Aku teringat pepatah pak Alwin “Dia yang belakangan dia yang menyiram”. Yang pertama tidak akan menyiram dan yang datang berikutnya wajib menyiram pemilik pertama dan begitu seterusnya. Itu terbukti, toilet umumnya memang gratis tapi aku selalu menemukan “ting” belum disiram. Sepertinya aku lebih memilih toilet alam. Baunya tak bisa ku tahan begitu lama walau hanya untuk buang air kecil tapi ku perhatikan ibu tiongkok itu biasa saja masuk dan keluar lagi tanpa menutup hidup. Astaga, aku ga bisa! Bukan hanya itu, bertenda lahan berlantai ini ternyata menimbulkan banyak masalah. Kami tidak bisa membuat pasak yang baik, terpaksa kami gunakan pohon dan rumput sekitar. Tidurku tidak nyenyak bahkan seperti tidak tidur, tidur yang hanya beralas matras dengan dasar semen membuat badan terasa kaku dan pegal, nyesal aku tidak menuruti katanya. Setiap hembusan angin membuatku berpikir yang lain, seperti derap kaki yang ingin mengganggu kami tidur. Aku benar-benar gelisah, apalagi bersamaan dengan truk-truk itu. Sebenarnya aku yakin, mereka tak akan mengganggu, selain karena kami sudah ijin, dinegara ini tak bisa sembarangan orang mengganggu orang lain. CCTV ada dimana-mana, sudut jalan, depan toko, dalam ruko, dimana-mana. Satu gerakanmu akan meneroboskanmu ke dalam hukuman, karena itu para wanita tak pernah merasa cemas berpergian tengah malam bahkan hingga pagi. Berpakaian mini, paha terlihat, mulus, putih, cantik tetap para lelaki tak akan pernah mengganggu apalagi hanya sekedar bersiul. “Tidurku ga nyenyak” “kenapa?” tanyanya “ga tau, takut aja bawaan, kita kalau sepedaan jangan ampe malam-malam deh” “kenapa emang?” “kita jadi ga tau kondisi sekitar tempat camp, takut aja sama manusianya, tapi ga tau deh bener ga?kamu apa biasa ampe malam?” “bener kok, aku juga ga pernah ampe malam gini karena ada temennya aja, biasanya ampe jam 7 baru cari tempat nginap, memang ga bagus juga sepedahan malam-malam, selain udaranya ga baik, ga aman juga lampu kita ga cukup penerangannya, kita juga ga tau manusianya, ya uda nanti ampe sore aja kaya biasanya aku”. Benar juga katanya. Hari ini, jalan mulai menanjak secara perlahan-lahan. Yang kami tuju Luojiang. Sekarang kami berada beberapa meter dari pintu tol. Pasti tol ini menyelamatkanku dari tanjakan….. jalannya datar, mulus, cepat, dan membosankan. Untungnya aku sudah menggunakan mp3 di lubang telinga, tentu tak akan bosan. Aku masuk ke dalam warung kecil untuk membeli cemilan, karena aku yakin disepanjang jalan tol pasti jarang warung makan–sambil berharap tol itu akan menjadi penyelamatku, sedangkan embang mendekati gerbang tol untuk memastikan apakah tolnya bisa sepeda gunakan. “Ga bisa, kita harus lewat jalan biasa”, ceritanya Ahh ga bisa? Tak apa aku juga ingin mencicipi tanjakan seperti puncak Bogor hiburku. “Eh di dekat pom bensin itu ada babi dalam truk yang lagi dimandiin, mau liat ga? Babi pink” “Hah mana gw mau liat donk” kataku senang. Sudah 5 hari disini tentu aku mau melihat Piglet, si babi pink di film Pooh. “Tapi bau banget, pasti kamu jadi enek, ya uda liat sana, aku tunggu disini” Tujuanku satu foto dan baunya seperti apa sih sampai ia begitu gusar menceritakan hilang nafsu makan saat pertama kali melihatnya. Aku berputar-putar sambil berpura-pura foto sana-sini. Kesian piglet-piglet ini, kandangnya begitu sempit seperti berdiri tak mau tiduranpun pegal, berdesak-desakan seperti ayam negeri dibopong truk dinegaraku. Baunya tentu tak perlu aku jelaskan. Badannya gembrot berlemak lembek dengan warna pink bertompel, si pemilik sedang menyiramnya.
“Gimana enek ga lu” tanya embang sekembalinya ku “Engga biasa aja” “Ih gw mah mual” “Mungkin karena kamu pernah liat kandangnya langsung kali, aku kan engga” “Mungkin” ∞ Tanjakan kembali kami rayapi. Perlahan-lahan aku mulai terbiasa berganti-ganti gigi sesuai kebutuhan, tak jauh berbeda dengan motor. Ia tetap mengoreksiku dibelakang setiap aku ada kesalahan. “Kamu merasa ga kalau setiap ganti gigi, bunyi treek treek?” tanyanya tetap dalam gowesan “Iya?” “Kaya motor, klo kamu lagi gas trus ganti gigi jadinya gimana?” “Kaya mau loncat, bunyi juga” “Nah gitu, harus dilepas dulu kan gasnya, sama kaya sepeda pas ganti gigi, dikendor dulu gowesannya, kalau ga rusak”, ia menerangkan “Iya” Jalan aspal masih menanjak secara perlahan-lahan. Panas terik lumayan membuat nafas ini semakin terengah-engah, tenggorokanku berulang kali aku basahi. Setiap gowesan hanya membuat aku diam, diam mengurangi tetesan keringat, alunan musik di telinga cukup menemani sibuknya kaki dan otot ini bekerja. Pantas saja ia selalu bilang mp3 sangat penting menemani perjalanannya. Rasanya tangan ini berat melambai ditengah tanjakan seperti ini. “Haii”, kami menyambut lambaian mereka ditepi jalan. Kami bergegas menghampiri dibawah jembatan layang.
Mereka dua pesepeda Cina yang sedang menuju Chengdu, setelah mendapati tanjakan curam mereka beristirahat sambil memakan xīguā (semangka). Kami diajak makan semangka itu sambil mengobrol bahasa Cina sekenanya. Xīguā diantara keramahan dan keringat sungguh terasa manis dan segar yang luar biasa. “qǐ yǎnshēng”, tanya embang kepada mereka sambil menggerakan tangan naik turun Mereka menjawab sambil menggerakan tangan condong ke bawah yang artinya setelah ini turunan. Aku terseyum lebar. Tak lama, mereka bergegas, kami beristirahat sejenak sambil menawar buah lainnya. Hijau, manis seperti apel malang tapi sekecil buah anggur, kami tidak tau namanya. Yang ada malah kami mendapat tambahan lainnya dari si penjual semangka, satu buah semangka gratis. Kami terseyum lebar sambil saling bertatapan dan dalam hati siapa yang akan bawa buah berat ini? Tentunya bukan aku kan? Hehehe Tak lama menggowes kembali, kami bertemu sepasang pesepeda lainnya berlawan arus dengan kami. Berfoto bersama dan lagi-lagi memberikan kami buah, pir berwarna coklat. Kami banjir buah dan tentunya kali ini aku yang bawa. Mereka menjelaskan perjalanan kami akan naik turun hingga Xian. ∞ Aku dapati turunan panjang disambung tanjakan kembali. Udara hari ini sangat terik tapi tak meluluhkan semangatku terus menggowes ditengah hamparan aspal yang mulai jarang terlihat gedung tinggi. Rumah perorangan untuk pertama kalinya aku lihat, tak tampak si penghuni ditengah jam kerja seperti ini. Mereka ikut memompa otot ditengah ladang mereka. Ditengah tanjakan kami berhenti, seenaknya masuk ke garasi rumah orang untuk makan Xīguā. “Aduuh seger banget ya” ucapku “Iya, makanan paling enak sedunia, makanan dalam kondisi seperti ini” Aku mengangguk tanpa berucap karena penuh dengan semangka. “Habis ini kita cari internet, posting video kemarin” katanya “iya”
∞ “Mau ngenet aja lama banget sih” keluhku “Gw juga ga ngerti nunggu apa ini” Kami duduk di depan warnet sambil menunggu sesuatu yang tidak kami tau apa yang ditunggu Hingga beberapa menit berlalu datang dua polisi menghampiri kami. Ternyata si pemilik warnet justru memanggil polisi. Memangnya salah kami apa? Kami kan hanya sekedar ingin internet dan itu juga bakal dibayar. Satu polisi bertanya dengan bahasa Cina, tentu kami tak mengerti disambung temannya berbahasa Inggris campur Cina. Polisi ini memeriksa paspor kami, membolak balik hingga beberapa kali. “Kaya ngerti aja ya periksa passport kita” ucapku di depan mereka sambil tertawa geli “Iya ga bisa baca alphabet juga sok-sokan” “Hahaha” aku semakin tertawa. Asyiknya berbahasa planet diribuan orang yang tidak mengerti bahasa kami. Kami sering menertawakan penghuni negeri ini di depan mereka tanpa takut ada yang tersinggung. Seperti tidak puas dengan kami, mereka menghubungi polisi lainnya. Temannnya datang dan kembali bertanya kepada kami dengan bahasa Cina lagi?! “Ini orang gimana c dikira manggil temannya yang bisa bahasa Inggris, tapi malah lebih parah” kata embang Aku malah semakin tertawa “Ga guna banget dia manggil temannya” keluh embang sambil tertawa Akhirnya kembali ke polisi pertama yang bisa sedikit bahasa Inggris. Ia menjelaskan bahwa turis tidak bisa menggunakan warung internet dimanapun bahkan penduduk asli harus menggunakan KTP. Internet hanya bisa kami akses melalui wireless yang tersedia di warung makan atau penginapan. Keluar masuknya akses informasi di dunia maya sungguh terkontrol di negeri ini. URL yang kami gunakan terpantau dengan baik, tidak bisa menggunakan account sosial yang eksis di negeri lain, twitter, you tube, wordpress, blog, flickr, bahkan facebook jangan harap bisa update status. Dengan kecewa kami pergi ke desa berikutnya berharap ada warung makan yang memiliki wireless. ∞ Belum sempat mencari makan, kami ditarik ke meja makan oleh ibu si penjaga hotel Xinhuang. Dua mangkok bubur jagung dengan dua lauk berbeda di mangkok besar disodorkan kepada kami. Walau aku tak mengerti bahasanya dari gerak tangannya ia memaksa kami untuk memakannya. “Yang ini apa?” tanyaku ke embang “Kayanya daging babi” Sumpitku tak kusentuh ke mangkok itu, begitu juga dengan embang. Kami hanya menyapit menu di mangkok lainnya yang sebenarnya kami juga tidak tau itu apa.
Si ibu yang memperhatikan makan kami, terus menggerakan tangan yang artinya “ayoo cobaain yang ini, ini dimakan juga” Kami mengangguk, dengan rasa hormat, hanya aku letakkan di mangkokku tanpa ku makan. Dalam hati “Maaf bu, aku tidak memakannya bukan aku tidak menghormati yang sudah diberikan” ∞ “Cit ibu itu minta uang Indonesia?” “Hah berapa?” “Ada ga 1000?” “Ada” “Dituker sama 1 yuan” *1 Yuan = 1500 Tak lama semakin banyak yang ingin tukar dengan Rupiah “150.000 Rupiah sama dengan 100 Yuan” jelasku sambil menunjukkan kedua mata uang itu di depan orang-orang yang sudah mengerumuni kami “Kalau 1 Yuan ini sama dengan yang ini” tunjukku pada uang 1000 Rupiah Ibu lain ingin menukar 10 Yuan “10 Yuan sama dengan ini” tunjukku pada uang 5000 Rupiah dan 1000 Rupiah hehehe mau bagaimana lagi Rupiahku tak cukup untuk melayani keinginan mereka. 6000 Rupiah dan beberapa uang receh aku berikan kepadanya.
Dan kami jalan kembali menemui si tanjakan dan turunan.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun