Sosbud: Perempuan dan Roman Melayu Tionghoa
Perkembangan etnis Tionghoa di Indonesia merupakan salah satu fenomena yang sudah ada sejak abad 18-an sebelum bangsa Belanda datang ke Indonesia. Keeksistensian orang-orang Tionghoa yang minoritas menjadikannya tidak bisa masuk pada kaum pribumi. Etnis Tionghoa semestinya merupakan bagian yang integral bangsa kita, bagian yang tidak dapat dipisahkan dari bangsa Indonesia. Karena kebudayaan Tionghoa telah mengisi khazanah budaya Indonesia, baik dalam bahasa, kesenian, maupun dalam kesusastraan.
Masyarakat Tionghoa maupun kesusastraan Tionghoa memiliki sejarah yang panjang di Indonesia hingga jatuh bangun agar dapat diterima oleh masyarakat pribumi, yaitu rakyat Indonesia. Munculnya sastra Tionghoa berhubungan erat dengan perkembangan masyarakat Tionghoa. Masyarakat Tionghoa memiliki ruang sendiri untuk memosisikan diri di antara mayoritas masyarakat pribumi yang memiliki multibudaya, termasuk dalam penggunaan bahasa.
Pada mulanya, masyarakat Tionghoa yang datang  ke Indonesia menggunakan bahasa asli Tionghoa. Namun, setelah mendapat pengaruh budaya pribumi, bahasa asli tersebut tergantikan dengan bahasa Melayu. Ketika bahasa yang digunakan masyarakat Tionghoa dalam karya sastra adalah bagian dari bahasa Melayu-rendah, maka dianggap sebuah pembangkangan terhadap kultural yang berpotensi untuk menghilangkan otoritas Melayu-tinggi. Hal yang demikian merupakan pencarian identitas yang dapat mempengaruhi karya-karya sastra awal Tionghoa yang seharusnya dapat memiliki kebebasan dalam mengungkap kreativitas yang berbentuk tulisan secara terbuka. Cerita-cerita itu dituliskan dalam bahasa Melayu-rendah, yang zaman itu umum dipergunakan dalam kalangan Tionghoa-Peranakan.
Sementara itu, perkembangan sastra Melayu Tionghoa pada masa kemunculannya masih belum dianggap sebagai sastra Indonesia meskipun para pengarang memasukkan unsur-unsur pribumi seperti bahasa atau tema cerita yang dijadikan sebuah perwujudan cerita pribumi (Indonesia). Permasalahan-permasalahan mengenai sastra Melayu Tionghoa sebenarnya dapat diselesaikan secara mudah dengan cara kita tidak memandang keberadaan yang menjadi khas para pengarang sastra Melayu Tionghoa, yaitu dalam penggunaan bahasa Melayu-rendah. Fiksi yang mereka ciptakan disebut sebagai sastra Melayu Cina, yakni sastra berbahasa Melayu yang dihasilkan oleh peranakan Cina.
Sastra peranakan mulai berkembang pada akhir abad ke-19 dan sepanjang 65 tahun dalam abad ke-20. Yang dimaksud dengan peranakan dalam hal ini adalah orang-orang pribumi yang memiliki keturunan dari bangsa Cina atau seorang perantau dari Cina yang melahirkan anak di Nusantara. Oleh sebab itu, orang-orang peranakan lebih memahami bahasa Melayu (pribumi) dibandingkan dengan bahasanya sendiri (tionghoa) sehingga berpengaruh pada karya-karya sastra yang mereka tulis.Â
Prof. Kong Yuanzhi menjelaskan bahwa karya sastra peranakan Tionghoa tetap berkembang di Indonesia dengan konsep yang dilatarbelakangi oleh beberapa faktor yaitu; (1) keinginan peranakan Tionghoa untuk mengenal budaya Tionghoa, sehingga dalam setiap karya sastra selalu memasukkan perpaduan unsur budaya antara budaya Indonesia yang ada di lingkungannnya dan budaya Tionghoa yang diturunkan dari generasinya yang memiliki unsur budaya asli (tradisional) Tionghoa; (2) adanya dorongan dari gerakan nasionalis, dalam hal ini dikarenakan sebagai orang peranakan yang hidup di negara lain yang dipegaruhi oleh berbagai gerakan politik sehingga harus memiliki sikap nasionalis untuk bangsa pribumi; (3) populernya bahasa Melayu khususnya Melayu rendah, artinya bahasa yang digunakan sehari-hari yang harus disesuaikan dengan masyarakat agar karya sastranya dapat diterima; dan (4) berkembang pesatnya pers dan percetakan peranakan Tionghoa yang dapat dijadikan sebagai pendukung dari karya sastra yang ditulis oleh orang peranakan Tionghoa.
Dengan adanya pengaruh politik pula produktivitas sastra-sastra Tionghoa mulai mengalami penurunan. Seperti pada zaman orde baru dengan struktur politik yang kacau, masyarakat Tionghoa mendapat perlakuan minor dan diskriminasi yang sengit sehingga menyulitkan lahirnya kepedulian terhadap keberadaan sastra Tionghoa yang memiliki kekayaan.Â
Sebenarnya sastra Tionghoa dapat dipahami dalam konteks sosiologis masyarakat Tionghoa itu sendiri, karena dengan menyisipkan kebudayaannya dapat berakulturasi dengan sastra Melayu dan menjadi satu kesatuan yang memiliki ragam kebudayaan. Dengan adanya karakteristik yang menjadi ciri khas sastra Tionghoa seperti menyangkut objek tematik yang diangkat sastrawan peranakan Tionghoa dalam jangka waktu yang lama dan lebih mengutamakan tata bahasanya dalam karya sastra sehingga tidak ada kemungkinan untuk merusak bahasa ataupun budaya pribumi (Indonesia).
Dengan demikian, dalam hal kepenulisan karya sastra Melayu-Tionghoa, para pengarang peranakan seperti Tan King Tjan, Juvenile Kuo Sie Lip Lap, dan Kwee Khee Soei telah menjadi sebagian besar peranakan Tionghoa yang memperkaya kesusastraan Indonesia. Tema-tema yang diangkat dalam roman-roman pengarang peranakan Tionghoa merupakan gambaran kehidupan yang ada pada zamannya, begitu pula dengan keempat pengarang tersebut yang memberikan gambaran mengenai perkawinan campuran atau pernyaian yang sedang gencar diperbincangkan pada masanya. Jadi, melalui roman-roman pernyaian kita dapat melihat sedikitnya cerminan mengenai sebagian perempuan sebelum emansipasi muncul di masa penjajahan.
Karya sastra yang memiliki tema pernyaian sangat menarik untuk diteliti karena konsep pernyaian bukan hanya dilihat dari penulis pribumi saja. Akan tetapi, ada beberapa karya sastra yang bertemakan pernyaian yang ditulis oleh orang Eropa seperti cerita Nyai Dasima yang dikarang G. Francis dan beberapa pandangan orang peranakan Tionghoa terhadap konsep pernyaian sehingga menambah koleksi konsep pernyaian terhadap dunia sastra. Roman yang bertemakan pernyaian dari penulis peranakan Tionghoa.Â