Mohon tunggu...
Qashwa Gorismi
Qashwa Gorismi Mohon Tunggu... -

Masih mulai belajar menulis,,,

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Subsidi Motivasi bagi Si Para Haus Buku

26 Juli 2010   21:24 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:35 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Awan gelap, hitam menggulung-gulung di kotaku, kuterobos saja cuaca mengerikan itu, bersama sahabatku, kami meluncur ke kota tetangga, dengan satu tujuan, mencari segenggam ilmu dalam sebuah buku. Sebagai seorang bookholic, saya adalah orang yang tidak perhitungan dengan uang kalau menyangkut beli buku. Bahkan kadang, kalau penyakit saya kambuh, bisa saja uang tabungan berbulan-bulan, hasil puasa jajan, ludes tak bersisa, hanya karena buku-buku yang berjejer rapi di etalase berhasil merayu saya untuk membelinya. Kalau sudah begitu, saya jadi kalap belanja.

Nah, ceritanya, lagi ada bazaar buku, satu dari sedikit toko buku di kota tetangga, *di kota saya nggak ada toko buku* memajang diskon untuk buku-buku yang nggak laku lagi. Semacam cuci gudang gitu. Jadi, kami para siswa gila buku dengan sedikit budget menyerbu bazaar itu. Sebenarnya saya bingung, buku-buku yang nggak laku itu buku-buku yang bagus, selain novel, *kebanyakan novel terjemahan, bahkan International Bestseller* juga ikut nangkring di sana. Ckckck. Juga ada buku-buku self Developing, motivasi *buku favorit saya*, kok bisa bestseller terjemahan kaya begitu, nggak laku? Jadi buku apa yang laris dan diminati masyarakat. Entahlah, saya juga tidak tahu.

Yang pasti saya beruntung, karena nggak laku, akhirnya dia bisa nongkrong di bazaar sini dengan karton tergantung manis di atas tumpukan buku itu, bertuliskan ‘Diskon 15%’, wow! Itupun sudah banyak. Saya mulai maruk memilih buku, tapi setelah saya bayar, teman saya tadi cuma berdiri di samping saya, dan menatap saya lesu.

“Kenapa Onn?” tanya saya. Saya memanggilnya Oennie, artinya kakak.

“Bukunya habis.”

“Emang buku apa?”

“Bukunya Andrea Hirata yang baru.”

Saya melongo, buku ANDREA HIRATA YANG BARU juga ada di bazaar ini? yang bener aja?

Ketika saya tanyakan sama mbak penjual, katanya buku itu akan datang lusa, jadi kami akan kembali lagi lusa.

“Kamu kok banyak banget sih belinya.” Ucap oennie tiba-tiba, ketika saya mengantarnya pulang.

“Mumpung lagi diskon.” Jawab saya.

Dia diam.

Biasanya saya peka, sensitive banget malah, nggak tahu kenapa hari ini kemampuan indra peka saya melemah, dan besoknya saya baru sadar kenapa oennie cuma diam kemarin.

Dia juga pengen beli buku banyak kayak saya. Tapi budgetnya terbatas. Walaupun kami pengunjung perpustakaan sekolah rutin setiap hari, dan perpustakaan kota seminggu sekali, tetap saja kami pengen beli buku. Buku yang nggak ada di perpus, buku dari penulis favorit kami, buku yang dengan sayap kecilnya, mengajak kami terbang sejenak, meninggalkan kota kecil kami, melayang di atas dunia yang luas, mengamati, mencermati, bagaimana hidup ini berjalan tak sesempit kota dan kehidupan kami yang miskin buku.

Akhirnya, kami kembali lagi ke bazaar itu, sesuai janji kemarin. Bukunya masih nggak ada, hari kembali hujan. Mbaknya bilang, hari Senin datang. Senin, kami kembali, dan bukunya belum ada. Hari kembali hujan. Kata Mbaknya hari Kamis mungkin bukunya datang. Saya nggak tahu apa ketika kamis, saya ke sana buku itu akan ada. Kesal, saya pergi ke toko buku lain, ADA! Tapi, lebih mahal sedikit. Saya melapor pada oennie. Tapi, apa yang dia katakana jauh diluar penalaran saya saat itu.

“Nggak Qash, aku nunggu yang di bazaar itu aja.”

“Hah, onn?! Cuma beda Rp4.000,00 doang?”

“Hey! Rp4.000,00 itu banyak tau! Bisa buat ke sekolah naik taksi pulang pergi.”

Saya terhantam, keras sekali. Betapa mudahnya saya menghabiskan uang untuk hal-hal yang nggak penting, kadang. Tapi, teman saya. Karena empat ribu rupiah, rela menunggu, sampai entah kapan untuk membaca buku dari penulis favoritnya. Favorit saya juga.

Hmmmm…. Saya jadi mikir, kenapa ya pemerintah nggak mensubsidi buku aja. Saya yakin pasti banyak saudara saya di penjuru Indonesia yang bernasib sama seperti saya dan teman saya, haus membaca, tapi nggak ada bukunya. Perpustakaan memang sangat membantu, tapi kadang, banyak perpus yang nggak menyediakan buku yang lengkap, apalagi buku-buku motivasi dan pengembangan diri.

Saya tahu, departemen pendidikan dan oarng-orang yang bertugas sudah berusaha, mengupayakan penyediaan buku pelajaran yang berkualitas dan gratis bagi kami. Tapi, hanya sekedar mengingatkan, kami tidak hanya membutuhkan buku-buku itu, kami juga ingin membaca buku-buku yang dapat memotivasi kami, seperti kendaraan, pemerintah telah menyediakan kendaraan terbaik yang dapat disediakan, tapi, bagaimana kendaraan bisa jalan tanpa bensin, tanpa motivasi. Motivasi itu seperti bensin untuk kami. Belajar 8 jam sehari dengan 15 mata pelajaran yang harus dikuasai setiap tahun, kadang orang lupa mengingatkan, bahwa kami akan berhasil. Dulu, di SD, hampir semua guru saya selalu memotivasi, membimbing selain mengajar, mengingatkan bahwa kami pasti bisa, tapi sekarang, di SMA, jarang sekali, Ibu Bapak guru terlalu asyik menjelaskan peljaran, dan mungkin lupa mengingatkan kami, bahwa harapan selalu ada jika kami berusaha.

Mungkin juga orang-orang berpikir bahwa kami sudah dewasa, kami tidak perlu diingatkan, tidak perlu di motivasi. Tidak! Kadang kami lelah, mengantuk, sakit, itu semua membuat kami jatuh semakin terperosok kedalam lembah ‘semuanya sulit, aku tak akan bisa, aku tak akan berhasil’. Saya sendiri mencari energy dari bersimpuh pada-Nya dan mengadu, lalu rahmat-Nya yang luas memberi kesempatan saya untuk menyerap energy dari buku-buku motivasi.

Betapa buku seperti tulisan Andrea Hirata adalah pertamax, bahan bakar kualitas terbaik untuk memacu motor belajar saya, dan juga teman-teman saya.

Atau mungkin orang-orang membiarkan kami berpikir realistis, bahwa kebodohan atau sedang-sedang saja adalah takdir, nasib, tak bisa dipungkiri, tak bisa diusahakan, tak bisa ditolak, titik.

Maaf, serealistis apapun, kami selalu punya harapan, walau kadang hanya sebercak cahaya di hati yang gelap, betapa penuntun untuk menghidupkan cahaya itu begitu kami dambakan. Petuah Bapak Ibu Guru, atau dari buku motovasi.

Kalau buku bisa dibeli dengan harga murah, terjangkau, saya yakin, teman-teman yang susah dapetin buku bisa beli, terus mereka sering baca, temen yang nggak suka baca, jadi ikutan suka, membaca jadi kebiasaan, jadi trend baru, mereka jadi lebih milih baca daripada hang out ga jelas, banyak baca, pengetahuan bertambah, generasi Indonesia nggak Cuma ‘tong kosong nyaring bunyinya’ tapi ‘tong penuh nyaring bunyinya’ menggema, mengikrarkan kecerdasan Indonesia ke penjuru dunia. Segampang itu. Mungkin.

Yah, mungkin ada cara lain yang lebih cerdas, untuk mencerdaskan kami. Tapi, kami harap, lebih cerdas daripada melatih guru menjelaskan dengan pasif di depan kelas, sementara kami terngantuk-ngantuk mendengarkan, dan lebih cerdas dari mem-force kami memenuhi standar nilai tertentu, yang kalau tidak berhasil bikin malu nggak ketulungan, seperti aib, ‘kalau nggek pinter eksak berarti nggak punya harapan hidup’ itu kaliamat yang bergema di kepala kami, jika membayangkan nggak lulus ujian.

Bukankah setiap orang punya kecerdasan berbeda, bukan hanya ilmu eksak atau social, tapi juga kreatifitas dan keterampilan, semoga pemerintah punya cara yang lebih cerdas untuk menghargai kemampuan-kemampuan itu. Dan menyediakan subsidi motivasi bagi kami, si para haus buku.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun