Mohon tunggu...
Qashwa Gorismi
Qashwa Gorismi Mohon Tunggu... -

Masih mulai belajar menulis,,,

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Sekolah, Aku, Anak Tetanggaku, Masa Depan Cerahku, Masa Lalu Indahnya

12 Juni 2010   14:48 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:35 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Saya pikir semuanya baik-baik saja. Jalanan yang basah, udara lembab yang saya hirup, dan kehangatan cinta di hati meluber, kemudian menguap.

Anak lelaki itu gempal, dekil, dan bau. Tapi matanya yang cerah memancarkan semangat hidup yang tinggi.

Masalahnya, pagi itu dia tak lagi dengan seragam putih kecoklatan dan celana merah yang pudar, kini dia mengenakan kaos oblong dan celana pendek, menenteng ember dan pancingan alakadar yang tersampir di bahu.

“Aku berhenti sekolah, kak.”

“Kenapa?” tanyaku.

“Ibu nggak sanggup kerja, jadi sekarang aku yang nggantiin. Lagian kalau aku sekolah, aku nggak akan jadi apa-apa kak. Jadi lebih baik aku berhenti.”

Aku tidak mampu berkata-kata, hanya menatap mata itu lekat.

“Kakak harus tetap sekolah, bagaimanapun sulitnya, karena kakak pintar, selalu juara, beda sama aku yang sudah dua kali nggak naik kelas. Sana cepat berangkat, nanti kalau telat terus kakak bakal dihukum, terus dipanggil kepala sekolah, terus…”

Aku tidak lagi ingin mendengar kata-kata dari bibir mungil yang menghitam itu.

Aku berlari menerobos kabut embut yang menyelimuti desaku, tidaaaaaaaaaaaak!!!!!!!!!! Mengapa ini terjadi? Mengapa harus ada lagi? Mengapa masih ada hal seperti ini? Tuhan….

Dimana keadilan itu? Aku tahu dia cerdas, hanya saja dia selalu mengantuk di kelas karena harus bangun pukul 02.00 malam untuk menoreh getah di perkebunan, dia terlalu lelah untuk belajar di malam hari karena harus membantu paman tetangga sebelah mengolah aren hingga tak ada waktu untuk menyentuh buku.

Tapi sumpah, dia sudah berusaha. Tidak jarang aku menemukannya tidur dengan buku dipelukan atau tergeletak di samping dipan kayu, ranjang terempuk yang pernah ditidurinya.

Tolonglah, dia baru 9 tahun, belum saatnya dia menanggung semua kebutuhan rumah tangga, kebutuhan ibunya yang selalu sakit-sakitan, kebutuhan adiknya yang dua orang.

Ayah, apakah orang yang menghancurkan seluruh hidupmu dengan menyakiti jiwa ragamu hingga membuat fisik dan hatimu tak sama seperti dulu kau dilahirkan patut di sebut ayah. Jadi jangan salahkan dia kalau dia tidak pernah dan ingin mengenal sosok itu.

Dia masih kecil, belum genap sepuluh tahun, dan dia harus bekerja untuk hidup, bukan hanya untuk hidupnya, tapi untuk hidup keluarganya.

Bagiku dialah sang ayah. Orang yang bertanggung jawab, berani mengambil tanggung jawab. Tanpa disadari dia telah menemukan sosok itu, dalam dirinya.

Tapi, bukan kehidupan ini yang seharusnya dia jalani. Seharusnya dia bisa belajar tanpa harus memikirkan perut yang lapar, bermain tanpa memikirkan hari esok harus hidup dari apa.

Dia masih kecil, tolong.

Kini, bagiku, hidup tidak lagi sama.

Aku, yang setia menonton berita, mengagumi setiap berita tentang program pemerintah yang berhasil, kini itu hanya seperti lawakan yang tidak lucu. Percuma mereka menggelontorkan banyak dana, untuk kepentingan rakyat katanya. Tapi teman kecilku, masih harus menoreh setiap subuh, masih tidak bisa bersekolah. Semuanya tidak berarti apa-apa, bagi dia, bagiku.

Mungkin aku harus belajar menerima kenyataan. Bahwa tidak semua orang bisa merasakan manfaatnya, tapi tetap saja. Sementara mereka memenuhi kebutuhan super tersier dengan membangun rumah mewah dan dana tanpa aim jelas dan transparan, teman kecilku harus bergulat dengan hujan yang menembus atap-atap rumahnya yang bocor dimana-mana, dengan angin yang menerobos seenaknya, bermain diantara dinding-dinding yang bolong.

Sekolah, sesak kini napasku, terengah-engah di depan sekolah tuaku. Tidak ada lagi anak tetangga dekil yang selalu tersenyum padaku, merayuku mengajarinya perkalian, yang sudah delapan puluh Sembilan kali aku ajarkan dan tidak pernah bisa dia kerjakan, karena dia, selalu tidur sebelum aku selesai menjelaskan.

Sekolah, satu-satunya masa depan untuk kehidupanku yang-semoga- cerah, Sekolah, satu-satunya masa lalu terindah yang pernah dirasakannya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun