Kemarin, di hari ke 25 di bulan ramadhan, saya sekeluarga buka puasa di luar rumah, kami memilih sebuah rumah makan di depan bandara Syamsudinoor, Banjarbaru. Tempat makan favorit kedua adik saya, karena dari sana terlihat dengan jelas setiap pesawat yang take off dan landing.
Setelah berbuka, kami menuju mesjid Al Karomah, Martapura, untuk melaksanakan solat isya dan terawih. Mungkin teman-teman di seluruh nusantara pernah melihat betapa indahnya mesjid ini, mesjid kebanggaan rakyat Martapura ini, selalu muncul di salah satu stasiun televise yang menyiarkan azan magrib, dan menampilkan mesjid-mesjid dari seluruh nusantara.
6 tahun yang lalu, saat saya duduk di kelas 1 SMP, kala itu, mesjid megah Al Karomah Martapura masih belum direnovasi, halamannya digunakan untuk terminal taksi. Tapi kini, mesjid itu sudah tegak berdiri dengan keagungannya. Mesjid yang siaran radionya, melantunkan ayat-ayat yang indah dari tempat ini, menjadi sahabat bagi seluruh warga Martapura, hingga ke pelosok-pelosok.
Mesjid ini luas dan megah, halamannya lebih luas dari lapangan sepakbola dengan beberapa pepohonan dan taman yang cantik. Solat di mesjid ini membuat saya berkaca-kaca, saya teringat akan mesjid di desa saya yang saat ini sedang di bangun kembali. Mesjid di desa saya 20kali lebih kecil dari mesjid Al Karomah.
Mesjid di desa kami, Mesjid Jami Al Hidayah desa Bawahan Pasar, didirikan pada tahun 1938, dengan 10 tiang penyangga yang berasal dari kayu ulin. Mesjid ini tidak pernah mengalami renovasi total. Namun, 2 tahun yang lalu, kami, warga desa Bawahan Pasar memberanikan diri memugar total mesjid kami. Karena bangunannya yang sudah sangat tua dan keropos. Desa kami tidaklah luas. Hanya terdiri dari 4 RT, bahkan kami tidak punya RW. Mayoritas masyarakatnya mencukupi kebutuhan hidup dengan bertani dan berdagang.
Semua elemen masyarakat bahu membahu membangun kembali mesjid tua kami. Saya ingat, pada hari itu seluruh warga berkumpul di mesjid, tua, muda, laki-laki, perempuan, kami membongkar mesjid untuk tahap awal renovasi. Dari matahari mengintip malu dibalik awan putih, sampai ia terlelap, tenggelam di langit yang kelabu. Tidak ada rasa lelah, karena semuanya bekerja dengan ikhlas, tanpa mengharapkan imbalan. Kami hanya ingin mesjid kami tegar berdiri. Senyum selalu memancar dari bibir kami, kebahagiaan akan sebuah perjuangan dan rasa kebersamaan yang sangat kental memayungi kami, menjadikannya atmosfer semangat dan tenaga yang tak ada habisnya. Para ibu memasak untuk makan siang bersama. Warrga menyumbangkan hasil tani dan kebunnya untuk dimasak dalam jumlah yang banyak.
2 tahun telah berlalu, setiap hari selama ini warga bergantian bergotong royong mencari dana untuk pembangunan mesjid dengan mengumpulkan sumbangan dari para pengguna jalan raya yang melintas di depan mesjid, disamping itu juga ada iuran setiap bulan oleh seluruh warga untuk pembangunan mesjid. Kami yakin mesjid kami akan bisa direnovasi dengan sempurna, jika kami terus berusaha. Di bulan ramadhan, setiap malam, setelah solat terawih, para laki-laki bergotong royong mengangkut tanah atau pasir yang diantar oleh truk-truk dari toko bangunan.
Selama 2 tahun ini dana yang didapat sekitar 1,8 miliar rupiah, namun, menurut perhitungan masih kurang 2 miliar lagi sebelum mesjid kami benar-benar selesai direnovasi. Masih panjang perjuangan yang kami lakukan, namun kami masih bersemangat untuk terus mencari.
Saya sering dicibir oleh orang, ‘apa tidak ada cara lain untuk mencari dana selain meminta-minta di pinggir jalan?’,’apa kamu tidak malu?’. Kenapa harus malu? Ini cara yang halal, kami memohon bantuan bukan untuk mengenyangkan perut kami sendiri. Tidak sepeser pun kami meminta bayaran atau mengeluh untuk panas-panasan atau hujan-hujanan seharian di pinggir jalan, memungut receh demi receh, lembar demi lembar, untuk membangun mesjid kami. Kami bergotong royong, kami berusaha, kami tidak berdiam diri dan hanya menatap mesjid kami yang dalam keadaan bobrok dan rapuh.
Bukankah yang kami lakukan lebih baik daripada ongkang-ongkang kaki di rumah?
Saya sering tersentuh, merasa sangat damai, ketika para dermawan yang melemparkan uang juga melemparkan sebuah senyuman, yang membuat kami semakin bersemangat. Dan air mata tumpah ruah, salawat pada Rasulullah bergema, ketika hari itu, seorang dermawan yang lewat menghamburkan uang ribuan sebanyak 200.000, membuat jalan raya dipenuhi dengan lembaran uang kertas, para ibu-ibu yang hari itu mendapat giliran mengumpulkan uang menangis sangat mengumpulkan uang yang berhamburan itu. Kami tahu, masih banyak orang yang ingat akan pentingnya sebuah tempat ibadah berdiri tegak.
Kami tidak memaksa pengendara yang lewat untuk melemparkan uang, kami hanya memohon jika mereka berkenan, uang kembalian dari membeli minuman pun sangat berarti ketika disumbangkan untuk mesjid, dia akan menjelma menjadi pasir yang akan ikut menopang mesjid, dan pahala yang diterima tidak akan pernah berhenti, selama masjid itu masih digunakan untuk beribadah kepada Allah. Subhanallah…
Mesjid ini adalah milik semua orang, bukan hanya milik warga desa kami, kami ingin menjadikan mesjid kami sebagai tempat yang nyaman untuk beribadah, sebagai tempat persinggahan bagi para musafir yang ingin melaksanakan solat dan beristirahat dari perjalanan yang panjang dan melelahkan.
Walaupun dalam keadaan direnovasi, mesjid kami tidak pernah sepi, ketika terawih selalu penuh, bahkan sampai meluber keluar, setiap subuh para warga melaksanakan solat berjamaah dengan ditemani cicit burung yang bersahutan di bagian atas mesjid yang belum memiliki kubah.
Semua orang di kampung kami disatukan oleh mesjid ini. Tempat dimana kami berkumpul dan menyerahkan diri kepada Allah. Tempat dimana kami bahu membahu untuk membangunnya. Allah maha Pengasih, Dia melimpahkan rahmat dan kasih sayang persaudaraan diantara kami, dan para penngguna jalan dan melintas di depan mesjid kami.
Kami berterimakasih pada para deramawan yang bersedia menyumbang untuk mesjid, memberi secercah harapan untuk tegaknya mesjid ini.
Ini adalah sebuah perjuangan tentang mesjid di sebuah desa di mana saya menghabiskan 16 tahun kehidupan saya. Ya, kami masih berusaha, dan akan terus berusaha, hingga mesjid kami tegak berdiri, mesjid yang telah 72 tahun tak kenal lelah berdiri, setegar karang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H