Pendidikan mengenai sistem reproduksi bagi sebagian besar kita masih cukup tabu untuk didiskusikan,. apalagi jika sudah berkaitan soal seks dengan sasaran pendidikan adalah remaja. Bagi para orang tua, hal tersebut kerap menjadi problem tentang bagaimana mengkomunikasikan pendidikan seks bagi remaja putra maupun putrinya.
Orang dewasa kadang bingung menggunakan bahasa atau media apa agar bimbingan mereka seputar seks tidak terdengar canggung. jadilah problem tersebut berlarut-larut dan akhirnya tidak kesampaian sama sekali. Pada akhirnya seringkali remaja sendiri lah dengan berbekal insting keingintahuannya untuk mencari pendidikan seksnya sendiri.
Dalam kisaran usia remaja antara 13 – 18 tahun tersebut hal-hal yang tabu justru menjadi objek yang paling dicari tau. Hal tersebut sekiranya adalah wajar, keingintahuan pada fase remaja adalah tanda bahwa mereka mau belajar. Namun hal yang perlu diperhatikan bahwa jangan sampai mereka tidak diarahkan dalam aktifitas mencari tahu tersebut. Selain itu, bimbingan seputar pendidikan mengenai sistem reproduksi haruslah disesuaikan dengan usia remaja.
Sebenarnya pendidikan soal sistem reproduksi manusia telah diajarkan dibangku sekolah bahkan dari jenjang sekolah dasar. Namun hanya seputar teori biologis seperti misalnya pada masa pubertas seseorang akan mengalami pertumbuhan rambut halus pada organ genital yang disertai dengan kejadian mimpi basah pada lelaki dan menstruasi pada perempuan. Maka selanjutnya si anak lah yang akan mencari pembenaran akan hal tersebut.
Pada jenjang sekolah menengah kemudian dilanjutkan dengan pembahasan yang lebih merinci mengenai organ reproduksi. Misalnya seperti bagaimana tahapan pembuahan setelah aktifitaskopulasi (persetubuhan). Tentunya pembahasan tersebut dibalut dengan metode pendidikan dan istilah-istilah ilmiah. Lagi-lagi bagi remaja lah yang kelak akan mencari pembenaran dari teori biologis tersebut.
Belakangan kemudian disadari bahwa pendidikan tersebut hanya bagian kecil dari edukasi seputar sistem reproduksi terkhususnya mengenai seks. Perkembangan teknologi dan percepatan arus informasi yang saat ini terjadi menjadi fasilitas bagi remaja untuk mengungkap hal tabu tersebut menjadi konsumsi mereka. Hal yang dikhawatirkan pun menjadi sebuah realitas bahwa banyaknya remaja bahkan pra remaja yang jatuh kedalam sebuah problem dinamika remaja yaitu Free Sex!. Minimal menjadi pecandu konten pornografi yang dapat diakses dengan mudah dari smartphone masing-masing TANPA SEPENGETAHUAN ORANG TUA!
Dampaknya pun telah menjadi kekhawatiran yang lebih besar dengan maraknya terjadi kejahatan dan kekerasan seksual yang kadang ditemukan oknumnya adalah para remaja yang masih berstatus pelajar. Sekali lagi, semuanya semata-mata karena pendidikan yang diterima oleh remaja saat ini hanyalah pendidikan biologis. Hingga diaplikasikan oleh mereka sendiri dengan cara yang sangat jauh dari norma sosial dan akhlak agama, bahkan dianggap sebuah hal yang lumrah. Dampak yang paling besar tentunya adalah para remaja tersebut akan berpotensi mengalami kerusakan dari segi moral dan kesehatan tanpa mereka sadari.
Maka peran orang tua maupun orang dewasa terdekat bagi remaja yang memiliki tugas untuk memberikan edukasi psikologis bagi mereka. Pendidikan psikologis sebenarnya adalah bentuk terapan dari edukasi biologis yang pernah diterima seorang remaja. Misalnya bagaimana sikap seorang anak terhadap lawan jenisnya ketika sudah memasuki masa-masa remaja atau bagaimana menyikapi perubahan fisik saat fase pubertas. Hal-hal tersebut yang kadang dilewatkan para orang tua yang menganggap bahwa si anak akan terbiasa dengan sendirinya. Ternyata anggapan tersebut sangat salah karena pada masa-masa demikian seorang anak akan betul-betul memerlukan bimbingan dari orang dewasa.
Pendidikan psikologis mengenai sistem reproduksi berikut mengenai kesehatan dan hal-hal yang dapat merusaknya bisa disampaikan dengan komunikasi dua arah antara orang tua dan remaja. Membiasakan remaja untuk selalu berkonsultasi kepada orang dewasa terhadap segala hal tentang hidupnya akan membuka jalan komunikasi yang lebih lebar terhadap edukasi psiklogis yang disampaikan. Lalu bagaimana dengan anak yang tidak dibiasakan?Â
Tentu mulai saat ini harus dibiasakan dan jangan sampai terlarut-larut dengan denga dalih sudah terlanjur. Sudah pasti anak yang tidak dibiasakan berkmonukasi secara khusus dengan orang tua awalnya akan sulit terbuka. Aktifitas berkomunikasi dengan anak-anak remaja dapat dimulai dengan berdiskusi atau mengobrol seputar aktifitas kesehariannya baru kemudian diarahkan pada pendidikan reproduksi secara bertahap. Penulis memang bukan ahli dalam bidang psikologi, akan tetapi mengingat bahwa seorang anak memiliki kurang lebih 2/3 waktu dirumah selain aktifitasnya disekolah, kegiatan tersebut setidaknya dapat menjadi solusi bila dilakukan secara kontinyu.
Bagi yang muslim, sebenarnya agama islam sudah mengatur yang demikian. Tinggal para orang tua atau para remaja sendiri yang diarahkan untuk berkonsultasi dengan pemuka agama terdekat. Penulis menganggap agama menjadi peran paling vital dalam mengatur kehidupan manusia menjadi masyarakat yang ideal dan normatif. Pembinaan mental paling tepat bagi remaja adalah dengan senantiasa mengarahkannya untuk dekat kepada tuhan dan selalu merasa diawasi olehnya. Bagi agama lain pun saya rasa telah memiliki aturan-aturan sendiri mengenai hal tersebut.