Mohon tunggu...
Qanith kurniawan Arham
Qanith kurniawan Arham Mohon Tunggu... mahasiswa -

asli maros, pecinta Hijau dan sangat menyukai semangka

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ketika Tepi Sajadah Memisahkan Kita (Problem Shalat Jama'ah, Bag. I)

8 Juni 2016   20:33 Diperbarui: 8 Juni 2016   21:00 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dari Anas bin Malik ra, Rosulullah bersabda: “Luruskan shaf-shaf kalian, dekatkan jarak antaranya, dan sejajarkan bahu-bahu kalian! Demi jiwaku yang ada di tangan-Nya, sesungguhnya aku melihat setan masuk dari celah-celah shaf seperti anak kambing.” (HR: Abu Dawud, Ahmad dan lainnya, dishohihkan oleh Imam Al-Albani)

Demikianlah bunyi salah satu sabda Rasulullah. Sepertinya seruan untuk merapatkan dan meluruskan Shaf oleh imam shalat sudah seringkali kita dengar sendiri. Bahkan saya yakin sudah banyak sekali kajian, ceramah, kultum sampai khutbah yang membahas mengenai urgensi memperbaiki Shaf sebelum shalat. Dari teks hadits  diatas merupakan seruan Rasulullah Saw. Kepada makmum untuk saling merapatkan diri agar tidak adanya celah diantara shaf. Rasulullah menekankan bahwa syaithan yang menjadi “agen-agen” pencuri kekhusyukan Shalat senantiasa berlari-lari diantara celah-celah tersebut.

Ini sebenarnya menjadi masalah krusial yang perlu diperhatikan. Karena betapa tidak, sebagus dan segermerlap apapun kondisi masjidnya namun tetap saja kualitas sebuah jamaah dilihat dari kondisinya ketika shalat berjamaah. Seringkali saya dapatkan diantara jama’ah entah sengaja atau tidak merenggangkan shaf hingga beberapa inci sehingga sangat terlihatnya jarak antara makmum disebelahnya.

Umumnya yang saya dapati sendiri, kerenggangan shaf terjadi karena beberapa jamaah masing-masing menggunakan sajadah yang cukup lebar. Kemudian menggunakan sajadahnya dengan porsi masing-masing sehingga terciptalah jarak yang dibatasi oleh tepi sajadah. dan (maaf) orang yang biasa saya temukan melakukan hal tersebut adalah orang tua atau lansia. Tentu saja saya sebagai anak muda kadang enggan menegur. Sebab saya berpikir bahwa si “pelaku” ini sudah mestinya tahu dan apalagi telah mendengar perintah dari imam shalat. Jujur saja, ini terkadang membuat saya gelisah sepanjang shalat berlansung. Tulisan ini tentu bukan mau menyudutkan pengguna sajadah sebagai biang kerok terjadinya kerenggangan shaf. Namun jangan sampai sajadah menjadi pembatas tiap jamaah untuk saling merapatkan diri. Imbasnya kemudian, terjadi ketidakaturan shaf shalat dan kadang mempengaruhi lurus tidaknya satu shaf.

Sebenarnya hal ini sudah pernah saya tuliskan di media ini pula beberapa waktu yang lalu. Sudah sejak lama saya menyakini bahwa kualitas sebuah kegiatan shalat jama’ah adalah cerminan kualitas kehidupan sosial kaum muslim. Masjid boleh megah dengan menara menjulang berhias pernak pernik, tetapi tetap tidak akan mempengaruhi kondisi kehidupan umat islam disekitar masjid tersebut.

Mungkin bisa kita bayangkan kondisi shalat jamaah pada masa Rasulullah saw, saat itu Umar bin Khattab ra. perlu menggunakan pedang untuk meluruskan jamaah. Memastikan bahwa shalat berlansung dengan kondisi makmum sudah rapi dan siap dipimpin. Ini sebenarnya adalah indikasi bagaimana kualitas umat islam saat itu. Kehidupan sosial umat islam senantiasa dilimpahkan rahmat oleh Allah karena bagitu patuh dan siapnya menjalankan komando imam.

Sedangkan hal tersebut adalah kelemahan kita, umat islam sekarang. Hanya menjadikan shalat jamaah sekedar kegiatan spiritual dalam konteks individual atau hubungan antara tuhan dan hambanya seorang. Sehingga perintah imam untuk saling merapatkan diri dengan saling merapatkan bahu dan kelingking kaki demi menghindari celah dalam shaf banyak yang tidak melaksankannya. Padahal banyak makna dan pelajaran bijak yang dapat diambil dari shalat jamaah, terutama dalam hal kerapatan dan kelurusan shaf.

Bagaimana mungkin umat islam bisa bersatu padu, jika merapatkan diri dari celah berjarak 5  - 10 inci saja ada yang tidak peduli. Bagaimana mungkin kepatuhan umat muslim dalam menjalankan norma-norma agama maupun bangsa bisa berlansung jika mematuhi seruan imam selama shalat antara 10 – 15 menit saja, banyak yang enggan?.

Ini mestinya menjadi tanggung jawab bersama, untuk berani saling mengingatkan dan mengarahkan. Bisa saja sewaktu-waktu anda atau saya sendiri lah adalah pelaku “korupsi” shaf tersebut. Sekali lagi cerminan kualitas umat islam dilihat dari kondisi shalat jama’ahnya. Belum lagi, bila kita bayangkan syaithan yang senantiasa berlalu lalang disela-sela renggangnya shaf. Kemudian mengganggu dan merusak konsentrasi kita, maka merapatkan shaf dan meluruskannya adalah salah satu upaya untuk melemahkan kekuatan syaitan laknatullah.

marilah kita jadikan Ramadhan sebagai momentum untuk menggalakkan gerakan memperbaiki Shaf. jangan sampai kita malu, enggan bahkan tidak peduli terhadap problem dalam jama'ah ini. untuk terciptanya sebuah kondisi jama'ah yang ideal maka semua komponen jama'ah turut andil dalam mewujudkannya. bukan begitu?. sehingga dengan izin Allah kita dapat menjadi hamba-hambanya yang senantiasa di limpahkan rahmat dan berkah dalam lingkup jama'ah. aamiinn

dan..Jangan sampai tepi sajadah memisahkan kita saudaraku…

note #13 [project 52 dalam 365]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun