Mohon tunggu...
Qanith kurniawan Arham
Qanith kurniawan Arham Mohon Tunggu... mahasiswa -

asli maros, pecinta Hijau dan sangat menyukai semangka

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Harga Seorang Muballigh

28 Februari 2016   04:07 Diperbarui: 14 April 2016   10:46 356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Suatu ketika saya sedang berada disebuah kegiatan islami tahunan kampus sebagai panitia, kurang lebih semacam aktifitas pesantren kilat. Ada satu sesi dimana kami mempersilahkan salah seorang peserta untuk memberi kultum kepada sesamanya peserta. Berbekal wawasan agama yg tidak terlalu luas dia nekat maju dan berbicara. Alhasil beberapa kesalahtingkahannya pun seringkali jadi bahan tertawaan peserta lainnya.

Saya hanya ikut tersenyum, karena kurang lebih seperti itu pula saya ketika masa masa awal menjadi santri beberapa tahun lalu. Dalam kegiatan latihan da’wah atau ceramah menjadi ajang menertawai kekeliruan teman sesama pelajar pondok pesantren. Walau sesungguhnya latihan tersebut adalah kegiatan dasar pelatihan mental untuk menjadi public speaker yang handal. cieeh

Dengan sedikit menerawang, Dari situlah terpikir untuk melahirkan tulisan sederhana ini. Ketika Muballigh yang banyak tampil saat ini seolah menjadikan da’wah sebagai media menyampaikan lelucon, entah itu yang sering berseliweran di media elektronik maupun tampil dari masjid ke masjid. Dengan tampilan menghibur dan membawa embel embel bahwa islam itu Indah, namun yang sebenarnya terlihat malah “islam itu lucu”. Menjadikan da’i-da’i tersebut tak lebih dari sekedar pelawak. Hingga saya sempat terfikir “bagaimana sih nilai seorang muballigh di mata masyarakat?”

Dari segi etimologi sendiri, muballigh berasal dari kata “balagha”. Dan menjadi isim fa’il “muballigh” yang artinya penyampai atau orang yang menyampaikan. Dengan begitu tidaklah terlalu jauh dengan persepsi umum sebagian besar orang saat ini bahwa Muballigh itu adalah orang yang menyampaikan ceramah, membawakan taklim ataupun membacakan khutbah Agama.

Rasulullah SAW pun pernah bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin ‘Amr bin Al-ash

sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat

Cukup Singkat dan padat untuk sebuah anjuran kepada kaum muslimin agar tak segan segan menyampaikan kebenaran selama itu berlandaskan syariat Agama Islam. Dengan begitu setiap orang punya kesempatan untuk menjadi seorang muballigh (walau dengan kualitas yang berbeda beda). Dari yang masih pelajar atau baru mendalami ilmu agama sampai orang yang wawasan dan pengalaman ruhiyahnya sudah kemana mana.

Kembali pada problem yang sedikit saya singgung diatas, bahwa kebanyakan Muballigh saat ini menjadikan kegiatan da’wah yang dikemas dengan image humoris sebagai sebuah keharusan. Beberapa diantaranya ada yang karena terlalu bergairah “melucu” jadi sempat keceplosan dengan kata kata yang sebenarnya kurang pantas di keluarkan oleh seorang penyampai kebenaran. Belum lagi pada level tontonan di TV dimana skala jama’ah yang menyimak jauh lebih luas. Wibawa seorang muballigh yang sesugguhnya menjadi parameter kualitasnya bisa saja merosot dimata pemirsa yang notabene masih awam agama.

Sebenarnya Bukan hal yang juga sepenuhnya salah, memang terkadang dibutuhkan gaya para muballigh untuk menarik perhatian audiens dengan cara menggelitik respon humor mereka. Karena memang selera orang Indonesia yang umumnya senang dengan hal yang memacing tawa. Apalagi jika bahan permasalahan yang diangkat tidak jauh dari kehidupan sehari hari. Membuat audiens terpancing untuk berkata“ooh..iya juga yaa!” itu sudah menjadi prestasi lumayan bagi diri seorang muballigh. Betapa tidak? Artinya penyampaian kita sudah bisa diterima dengan baik oleh pendengar.

Mungkin diantara kita sudah tak asing dengan nama K.H. Zainuddin MZ. Muballigh yang berjuluk “dai sejuta Umat”. Pembawaan ceramahnya dengan Suara yang berwibawa, intonasi yang mantap dan gesture yang stabil, menjadikannya punya ciri khas sebagai muballigh kondang. Penyampaiannya kadang memancing gelak tawa jama’ah, namun dari cara bicaranya tidak mengarahkan jama’ah untuk menertawai si pembicara melainkan menertawai diri mereka sendiri .

Dari sedikit hasil perenungan saya, hal terpenting yang perlu dibangun seorang muballigh tentu adalah keyakinan pada diri bahwa dirinya telah menjadi pewakilan dari Allah swt untuk menyampaikan kebenaran dan kebaikan. Menjadi penerus perjuangan Rasulullah untuk menjadikan Islam sebagai rahmatan lil alamin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun