Mohon tunggu...
Qanith kurniawan Arham
Qanith kurniawan Arham Mohon Tunggu... mahasiswa -

asli maros, pecinta Hijau dan sangat menyukai semangka

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Apakah Ada “Hana” yang Lain?

2 Agustus 2016   06:01 Diperbarui: 2 Agustus 2016   07:30 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dokter hana, sosok muslimah ispiratif. Sumber: islamedia.id

Seorang muslimah bercadar di balut putihnya jas dokter, begitulah ciri khas dari penampilan Ferihana (Umm Sulaym) atau lebih dikenal dengan dokter Hana. Kabar mengenai dirinya sempat beberapakali muncul diberbagai tayangan berita juga sesekali terselip di beranda sosial media. Inisiatifnya untuk menjalankan klinik umum 24 jam yang diperuntukkan bagi kaum dhuafa membuatnya disebut-sebut sebagai sosok Muslimah Inspiratif.

Lalu bagaimana sebenarnya dokter lulusan Fakultas kedokteran, Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta ini menjalankan praktik di klinik yang kedengarannya tak lazim tersebut? klinik doketer Hana berada di Dusun Sumberan Nomor 297 Ngestiharjo, Kasihan, Bantul, Yogyakarta yang didirikan dengan nama “Rumah Sehat Muslim dan Dhu’afa Yogyakarta”. Ketika dibuka pertama kali pada tahun 2012 klinik tersebut sudah lansung menggratiskan pasien yang datang untuk berobat. Pelayanannya pun tidak hanya seputar praktik umum tapi juga memberikan pelayanan bekam, ruqyah, konsultasi herbal dan pil KB.

Dokter Hana tidak menetapkan tarif tertentu, hanya disediakan sebuah kotak infaq yang dapat diisi semampunya bagi setiap pasien yang berobat. Kliniknya dijalankan sebagai bentuk keprihatinan akan keadaan warga miskin disekitarnya yang kesulitan dalam mendapatkan jaminan kesehatan karena terkendala biaya. Lebih mengagumkannya lagi, meskipun klinik memakai embel-embel “muslim” nyatanya dokter Hana tetap menerima pasien yang non muslim dengan syarat tentunya adalah orang yang miskin. Inisiatif yang di lakukan dokter Hana dianggapnya “panggilan jiwa” sebagai seorang tenaga medis dengan tetap memegang teguh harga dirinya sebagai muslimah. Setidaknya itu yang saya rangkum dari berbagai pemberitaan mengenai dirinya.

mengingat bahwa melakukan diagnosa dan kemudian menjankan proses pengobatan membutuhkan peralatan yang tidak sedikit biayanya. Pertanyannya kemudian, darimana beliau mendapatkan dana untuk memenuhi kebutuhannya dalam menjalankan kegiatan praktiknya tersebut? Ternyata beliau memiliki beberapa aktifitas sampingan seperti menjalankan sebuah klinik kecantikan, sebagai konsultan herbal, sebagai staf pengajar dan lain-lain. Dari situlah yang sedikit banyaknya menjadi sumber penghasilannya bagi keluarga maupun keperluan logistik di kiliniknya. Benar-benar sebuah aktifitas yang membutuhkan kadar ikhlas yang tinggi dan stamina yang lebih. Aktifitasnya sebagai tenaga medis sudah bukan lagi PART TIME tetapi EVERYTIME.

Kalo boleh saya bilang bahwa pemberitaan mengenai dokter Hana ini ibarat Oase ditengah padang pasir. Disaat kasus vaksin palsu masih hangat untuk dikupas tuntas serta kisruh antara Dokter dan Apoteker di ranah media sosial yang sebelumnya tabu untuk dibahas menjadi layak diperbincangkan. Belum lagi ada label yang kurang menyenangkan yang menghampiri setiap tenaga medis professional meliputi dokter, dokter gigi, bidan, apoteker, perawat dan lainnya. Mereka dianggap sebagai profesi “telepon Umum”, ya… dimasukkan uang terlebih dahulu baru mulai bekerja.

Padahal sebenarnya jika orang-orang diluar tenaga medis bisa sedikit mengerti dan berpikir bahwa ketika seseorang memutuskan untuk menjalani pendidikan kesehatan maka dia harus siap berkorban banyak uang, waktu dan tenaga. Adapun sumpah profesi yang diterima oleh tanaga medis, adalah pegangannya selama menjalani profesi tersebut. Bukan sebagai hal yang mengekang tenaga medis untuk melayani masyarakat setiap saat dalam kondisi apapun. Hal ini yang kurang dipahami banyak orang bahwa tenaga medis pun membutuhkan materi. Kata kasarnya nih “tidak jalan Logika kalau nggak ada logistik”. Hehe (maaf saja, ini Cuma hasil pemikiran saya, semoga tidak ada anggapan kalau saya pro maksimal kepada semua tenaga medis karena saya sendiri adalah Mahasiswa kesehatan, lagi pula tulisan ini sepertinya sudah sedikit melenceng, haha)

Semoga dibelahan tanah Indonesia yang lain masih ada “Hana-Hana” yang lain, meskipun tidak dengan tampilan sebersahaja dokter Hana. Menjadikan predikat tenaga medis tidak hanya sebagai bekal mencari nafkah tetapi juga modal dalam memberikan yang terbaik bagi lingkungan sekitar. Permasalahan kesehatan di Indonesia masih sangat banyak kawan-kawan.

Seorang Hana sangat jauh dara kata cukup untuk membangun kualitas kesehatan bangsa. bagi saya bukan suatu kebanggan jika diri sudah berada dalam tampilan jas dokter, jas apoteker, seragam perawat dan lain-lain. Ketika masyarakat tidak hanya mengakui keberadaan para tenaga medis tetapi juga mengakui kinerja tulusnya, maka itu sudah menjadi keberhasilan luar biasa bagi para tenaga medis. Saya rasa masih banyak cara untuk menunjukkan bentuk kepedulian. Pertanyaannya bisakah kita lebih baik dari dokter Hana???

Note #18 [project 52 dalam 365]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun