Mohon tunggu...
Qanita Zulkarnain
Qanita Zulkarnain Mohon Tunggu... Lainnya - Magister Psikologi

Psychology Undergraduate and Psychometrics Graduate.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Welas Asih Tanpa Enabling dalam Berempati

4 April 2023   19:20 Diperbarui: 5 April 2023   09:59 516
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apakah Anda pernah berada dalam situasi di mana seseorang yang Anda sayangi mengalami masa sulit dan Anda ingin membantu? Seseorang tersebut bisa jadi adalah teman, keluarga, dan orang terdekat yang sedang ditimpa musibah atau sedang diberi ujian dalam kehidupan. 

Sebagai manusia, kita secara alami merasakan empati terhadap orang lain dan memiliki keinginan untuk memberikan dukungan pada mereka saat membutuhkan.

Ya, terkadang kita ingin membantu orang yang terlihat kesulitan.

Seharusnya memang begitu.

Meskipun demikian, pernahkah Anda mempertimbangkan apakah niat baik Anda untuk membantu bisa menjadi sesuatu yang justru berbahaya? Tidak dapat kita pungkiri bahwa kadang-kadang, terlepas dari niat terbaik kita, upaya kita untuk membantu justru dapat berdampak negatif alih-alih mendorong pertumbuhan dan perubahan positif.

Tapi...bukankah empati adalah sesuatu yang baik?

Saya sendiri pernah menulis satu artikel khusus yang membahas tentang manfaat melatih empati. (Baca di sini)

Singkatnya, iya, tapi sudah jelas segala sesuatu yang berlebihan pasti tidak baik.

Seperti yang sudah kita ketahui, empati adalah kemampuan untuk memahami dan berbagi perasaan orang lain. Ini adalah kemampuan penting yang memungkinkan kita terhubung dengan orang lain, membangun hubungan dengan orang lain, dan menciptakan rasa kebersamaan dengan orang lain. 

Namun, empati juga dapat memiliki konsekuensi negatif jika dilakukan terlalu jauh. Di antara wujud empati, ada welas asih dan enabling behavior. Penting untuk memahami perbedaan di antara kedua hal ini.

Welas asih adalah dasar dari empati. Ini tentang merasakan empati terhadap orang lain, peduli dengan kesejahteraan mereka, dan ingin membantu. Welas asih memungkinkan kita terhubung dengan orang lain, merasakan sakit mereka, dan menawarkan dukungan. 

Saat kita berwelas asih, kita bersedia menempatkan diri pada posisi orang lain, mendengarkan masalah mereka, dan menawarkan bantuan kita.

Namun, belas kasih terkadang bisa berubah menjadi rasa kasihan atau simpati, yang bisa melemahkan orang lain. Rasa kasihan dapat menciptakan dinamika kekuatan di mana orang yang menawarkan bantuan merasa lebih unggul, sementara orang lain merasa lebih rendah. 

Simpati dapat menciptakan rasa pemisahan antara orang yang menawarkan bantuan dan orang yang menerimanya. Sangatlah penting untuk mengenali ketika welas asih berubah menjadi belas kasihan atau simpati dan menemukan cara untuk mempertahankan rasa kesetaraan dan pemberdayaan.

Empati juga bisa berubah menjadi enabling behavior, yang bisa berbahaya bagi orang yang menawarkan bantuan dan orang yang menerimanya. 

Enabling behavior adalah saat kita melindungi atau menyelamatkan seseorang dari konsekuensi tindakan atau perilaku mereka. Ini sering dilakukan dengan niat baik, tetapi dapat menyebabkan lingkaran ketergantungan dan menghindari tanggung jawab.

Penting untuk menemukan keseimbangan antara empati dan enabling behavior. Empati dapat membantu kita terhubung dengan orang lain, memahami masalah mereka, dan menawarkan dukungan. Namun, kita perlu berhati-hati ketika bantuan kita membuat orang lain atau kita menjadi tidak berdaya atau enabling. 

Kita dapat menemukan keseimbangan ini dengan menetapkan batasan (boundaries) yang sehat, mendorong orang lain untuk bertanggung jawab atas tindakan mereka, dan membantu mereka mengembangkan mekanisme koping yang sehat.

Pada artikel ini, kita akan mempelajari konsep welas asih (compassion) dan enabling behavior dalam konteks empati. Kita akan sama-sama belajar bagaimana kedua pendekatan ini membantu orang lain dan bagaimana memaksimalkan dampak positif dan sebisa mungkin meminimalisir dampak negatif. Selain itu, juga ada beberapa strategi praktis untuk menumbuhkan welas asih sambil menghindari enabling behavior.

Empati

Empati adalah sifat dasar manusia yang memungkinkan kita terhubung dengan orang lain, membuat kita mampu memahami pengalaman mereka, dan merespons pengalaman tersebut dengan dukungan dan kepedulian yang tepat. Yang terbaik, empati dapat mengarah pada tindakan kasih sayang yang membantu individu mengatasi tantangan mereka dan mencapai tujuan mereka. 

Namun, empati juga dapat mengarah pada enabling behavior, di mana individu memberikan dukungan atau bantuan yang pada akhirnya meloloskan pola perilaku negatif, alih-alih mengatasi akar penyebab masalah. 

Dalam psikologi, perilaku welas asih dan enabling behavior sering dibahas dalam konteks empati dan perannya dalam perilaku membantu orang lain. 

Empati adalah kemampuan untuk memahami dan berbagi perasaan orang lain, dan sering dipandang sebagai dasar dari perilaku welas asih.

Empati memang dapat menjadi motivator yang kuat untuk membantu orang lain, tapi empati juga dapat mengarah pada enabling behavior jika tidak disertai dengan keinginan untuk meningkatkan pertumbuhan dan pemberdayaan pribadi. 

Sebaliknya, welas asih melibatkan empati dan pendekatan proaktif untuk pemecahan masalah, yang dapat meningkatkan hasil positif bagi orang yang memberikan dukungan dan orang yang menerimanya.

Penelitian menunjukkan bahwa welas asih dan enabling behavior memiliki dampak psikologis yang berbeda. Dalam satu penelitian, subjek penelitian dengan tingkat respons welas asih yang lebih tinggi lebih cenderung terlibat dalam perilaku prososial, seperti menjadi sukarelawan dan menyumbang untuk amal. Sebaliknya, subjek dengan tingkat enabling behavior yang lebih tinggi lebih mungkin mengalami kelelahan (burnout) dan penurunan kepuasan kerja.

Penelitian lain telah menemukan bahwa welas asih dapat menjadi faktor pelindung terhadap efek negatif dari stres, sementara enabling behavior dapat menjadi faktor risiko untuk hasil kesehatan yang negatif, seperti depresi dan kecemasan.

Hampir semua literatur psikologi mendukung gagasan bahwa welas asih adalah pendekatan yang lebih efektif untuk membantu orang lain secara emosional daripada enabling behavior. Hal ini karena welas asih karena mendorong pertumbuhan pribadi, pemberdayaan, dan kesejahteraan, sekaligus mendorong kehidupan sosial yang lebih baik.

Secara umum, kita dapat memahami bahwa empati dengan welas asih adalah hal yang baik, namun bisa menjadi hal yang buruk ketika empati melewati batas dan menjadi enabling behavior.

Apa itu welas asih? Apa itu enabling behavior? 

Welas asih (Compassion)

Welas asih umumnya didefinisikan sebagai respons emosional yang positif terhadap penderitaan atau kesusahan orang lain, disertai dengan keinginan untuk meringankan rasa sakit mereka. 

Perilaku welas asih melibatkan pemberian dukungan dan dorongan emosional, sementara juga memberdayakan individu untuk mengambil tindakan untuk mengatasi tantangan mereka.

Welas asih adalah konsep yang kita semua yakini adalah sesuatu yang baik. Meskipun demikian, konsep ini tetap menjadi sesuatu yang lebih mudah untuk diucapkan daripada dilakukan. Berikut adalah beberapa kemungkinan penyebabnya:

  • Emotional labor: Memberikan dukungan dan empati kepada orang lain dapat menuntut kita untuk aktif secara emosional. Terus tetap aktif secara emosional membutuhkan upaya dan energi yang signifikan.
  • Empathy fatigue: Mempraktikkan empati secara konsisten dari waktu ke waktu dapat menyebabkan burnout atau empathy fatigue, terutama jika seseorang memberikan dukungan kepada individu yang mengalami cobaan yang sangat berat atau berkelanjutan.
  • Fear of vulnerability: Mempraktikkan welas asih membuat kita mampu menjadi vulnerable atau terbuka, apa adanya. Menjadi terbuka dan apa adanya ini merupakan sesuatu yang tidak nyaman atau bahkan menakutkan bagi sebagian orang.
  • Kurangnya panutan: Beberapa individu mungkin tidak memiliki panutan positif untuk mengetahui bagaimana caranya berwelas asih dan berempati dalam hidup mereka, yang dapat mempersulit mereka untuk mengembangkan keterampilan ini sendiri.

Terlepas dari tantangan ini, mempraktikkan welas asih dan empati bisa sangat bermanfaat, baik untuk diri kita sendiri maupun orang lain. Melalui perilaku welas asih, kita dapat membangun hubungan yang lebih dalam dengan orang lain, mendorong pertumbuhan dan kesejahteraan pribadi, serta berkontribusi pada perubahan positif di komunitas kita.

Apalagi, welas asih umumnya dianggap lebih baik daripada enabling behavior, baik di dalam maupun di luar konteks empati. Berikut adalah beberapa alasannya:

  • Pemberdayaan (empowerement): Welas asih adalah tentang memberdayakan individu untuk mengatasi tantangan mereka, daripada mengabadikan pola perilaku negatif. Hal ini dapat menyebabkan pertumbuhan pribadi dan perubahan positif.
  • Kemandirian: Welas asih membantu individu membangun kepercayaan diri dan harga diri mereka, mendorong mereka untuk mengambil tanggung jawab atas hidup mereka sendiri dan membuat perubahan positif.
  • Hubungan positif: Perilaku welas asih dapat membantu membangun hubungan positif dengan orang lain, berdasarkan kepercayaan dan saling menghormati.

Jelas, kita harus berusaha menerapkan welas asih dan sebisa mungkin menghindari enabling behavior.

Kita banyak membahas enabling behavior, sebenarnya apa itu enabling behavior?

Enabling behavior

Enabling behavior, di sisi yang berseberangan dengan welas asih, melibatkan pemberian dukungan atau bantuan yang tidak mengatasi akar penyebab masalah. Hal ini malah pada akhirnya berujung pada perilaku negatif yang berkelanjutan. Enabling behavior dapat menumbuhkan rasa ketergantungan pada orang yang menerima dukungan, dan dapat mencegah mereka mengambil tanggung jawab atas kehidupan mereka sendiri.

Enabling behavior adalah jenis perilaku yang secara tidak sengaja memungkinkan seseorang untuk melanjutkan perilaku bermasalah atau berbahaya mereka tanpa menghadapi konsekuensi. 

Contoh enabling behavior adalah membuat alasan untuk membenarkan perilaku buruk seseorang, memberikan dukungan keuangan yang memungkinkan mereka untuk melanjutkan perilaku buruk mereka, atau melindungi mereka dari konsekuensi alami dari tindakan mereka.

Meskipun hal-hal tersebut dapat meringankan masalah orang lain untuk sementara, hal itu juga dapat mencegah mereka mempelajari pelajaran hidup yang penting dan mengembangkan mekanisme koping yang sehat.

Hanya karena seseorang mungkin sedang mengalami kesulitan, tidak berarti kita juga harus dibutakan oleh perasaan.

Empati yang sehat adalah berusaha memahami perasaan dan pengalaman orang lain. Di sini, kita tidak memaksakan perasaan dan pengalaman kita, tetapi kita juga tidak serta merta dibutakan oleh perasaan dan pengalaman yang sudah dipahami. Kita dapat memvalidasi perasaan dan pengalaman orang tersebut tanpa membenarkan yang salah.

Dalam bahasa Indonesia, enabling behavior dapat diterjemahkan sebagai "perilaku mendukung" atau "perilaku membantu yang sebenarnya merugikan". Penting untuk mengenali perilaku yang memungkinkan dan mengambil langkah-langkah untuk mengatasinya untuk mendorong tanggung jawab pribadi dan perilaku yang sehat.

Enabling behavior secara tidak langsung atau tidak sengaja membiarkan seseorang melanjutkan perilaku berbahaya atau merusak tanpa menghadapi konsekuensi. Dalam konteks empati, enabling behavior berwujud memberikan dukungan pada seseorang untuk melanjutkan perilaku berbahaya mereka, daripada membantu mereka mengatasinya.

Kapan kita cenderung melakukan enabling behavior? Mungkin masing-masing dari kita bisa berbeda-beda jawabannya, tapi saya rasa 

Enabling behavior bukanlah sesuatu yang unik dan asing. Kebanyakan dari kita mungkin pernah melakukan atau melihat orang lain melakukannya. Enabling behavior dapat terjadi karena berbagai alasan, termasuk ketakutan akan konflik, keinginan untuk menghindari membuat orang lain kesal, atau rasa bersalah atau tanggung jawab atas kesejahteraan orang lain. 

Enabling behavior juga bisa menjadi perilaku yang terbentuk (bukan bawaan lahir), terutama jika telah terjadi sesuatu yang menjadi pemantik perilaku ini dalam hubungan atau situasi di masa lalu. Misalnya, seseorang membentuk enabling behavior sebagai mekanisme koping ketika tumbuh dalam keluarga dengan orang tua yang secara emosional tidak dewasa dan memiliki perilaku yang meledak-ledak.

Enabling behavior dapat memiliki beberapa konsekuensi negatif, di antaranya adalah:

  • Ketergantungan: Enabling behavior dapat menumbuhkan rasa ketergantungan pada orang yang menerima dukungan, di mana mereka menjadi bergantung pada orang lain untuk mengatasi masalah atau tantangan mereka, daripada mengambil tanggung jawab atas hidup mereka sendiri.
  • Memupuk subur pola negatif: Enabling behavior dapat melanggengkan pola perilaku negatif, karena individu yang ditolong menjadi terbiasa ditolong dan didukung sehingga ketika tidak ada orang lain maka individu sulit untuk mengatasi masalahnya sendiri. Hal ini meningkatkan resiko perilaku berbahaya dan merusak seperti penyalahgunaan zat, tidak bertanggung jawab secara finansial, atau perilaku merusak diri sendiri lainnya.
  • Menghambat pertumbuhan pribadi: Enabling behavior dapat mencegah individu dari konsekuensi dari tindakan mereka. Perilaku ini juga menghalangi individu untuk membuat perubahan yang diperlukan untuk meningkatkan kehidupan mereka, yang dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan pribadi.
  • Hubungan yang tidak sehat: Enabling behavior dapat menyebabkan hubungan yang tidak sehat, karena orang yang memberikan dukungan mungkin menjadi kesal atau lelah, dan orang yang menerima dukungan mungkin menjadi tergantung atau selalu merasa berhak.
  • Dampak negatif pada kesehatan mental: Enabling behavior dapat berdampak buruk pada kesehatan mental orang yang memberikan dukungan dan orang yang menerima dukungan. Contoh dampak ini dapat berupa stres, kecemasan, depresi, atau emosi negatif lainnya.

Singkatnya, enabling behavior dapat memiliki berbagai konsekuensi negatif, dan pada akhirnya dapat mencegah individu mengalami pertumbuhan dan kesejahteraan pribadi. Penting untuk mengenali risiko yang terkait dengan enabling behavior, dan mengupayakan pendekatan yang lebih welas asih yang memberdayakan individu untuk bertanggung jawab atas hidup mereka sendiri dan membuat perubahan positif.

Penutup

Welas asih dan enabling behavior adalah dua konsep yang berbeda dengan dampak yang berbeda. Welas asih adalah perasaan empati dan kepedulian terhadap penderitaan orang lain, dan seringkali disertai dengan keinginan untuk membantu meringankan rasa sakit mereka. 

Welas asih dapat memotivasi kita untuk memberikan dukungan emosional, menawarkan bantuan praktis, atau mendorong seseorang untuk mencari bantuan profesional.

Enabling behavior, di sisi lain, mengacu pada pola perilaku yang secara tidak langsung atau tidak sengaja mendukung seseorang untuk melanjutkan perilakunya yang bisa saja berbahaya atau merusak tanpa menghadapi konsekuensi. Enabling behavior tidak membantu seseorang untuk berubah dan menjadi lebih baik.

Welas asih dan enabling behavior mungkin tampak serupa di permukaan, karena keduanya dapat terlihat sebagai wujud 'empati'. Meskipun demikian, keduanya memiliki dampak yang sangat berbeda. 

Welas asih adalah tentang membantu seseorang dengan cara yang memberdayakan mereka untuk mengatasi tantangan mereka, sementara enabling behavior dapat mengarah pada siklus ketergantungan dan penghindaran tanggung jawab. 

Penting untuk mengetahui perbedaan antara kedua konsep ini, sehingga kita dapat memberikan dukungan yang tepat bagi mereka yang membutuhkannya.

Welas asih memungkinkan kita terhubung dengan orang lain, merasakan sakit mereka, dan menawarkan dukungan. Kasihan dan simpati dapat menciptakan rasa tidak berdaya dan terisolasi, sedangkan enabling behavior dapat menciptakan siklus ketergantungan dan penghindaran tanggung jawab. 

Dengan menemukan keseimbangan antara empati dan enabling behavior, kita dapat membantu orang lain mengembangkan mekanisme koping yang sehat dan bertanggung jawab atas tindakan mereka.

Jadi, mungkin, setelah ini, dalam memahami perasaan dan pengalaman orang lain, kita perlu mengkaji ulang perasaan dan perilaku yang akan dimunculkan. Dalam berempati, berwelasasihlah, tapi tetap pada batasan yang baik. (oni)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun