Mohon tunggu...
Qanita Zulkarnain
Qanita Zulkarnain Mohon Tunggu... Lainnya - Magister Psikologi

Psychology Undergraduate and Psychometrics Graduate.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama FEATURED

Bunuh Diri dan Kesehatan Mental Indonesia

26 Juli 2017   12:01 Diperbarui: 10 Maret 2023   10:17 10849
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by Tim Mossholder on Unsplash

Dalam data mengenai alokasi belanja kesehatan yang hanya diberi slot 5% dari APBN 2016, dan rata-rata anggaran untuk kesehatan mental hanya 1% dari total anggaran kesehatan.

Menilik dari penyebab gangguan mental, terdapat dua sisi, yaitu dari dalam diri individu dan lingkungan. Dalam hal ini, dari sisi internal, individu dikatakan memiliki diathesis, atau predisposisi mengalami gangguan mental sehingga jika ada faktor pencetus dan penguat, individu akan rentan mengalami gangguan mental ringan sampai berat.

Dari sisi eksternal, terdapat stres yang merupakan tekanan dari lingkungan. Stres pada dasarnya bukanlah sesuatu yang mutlak buruk, di mana stres terbagi menjadi stres yang membangun (Eustress) dan stres yang merusak (Distress).

Kemampuan setiap orang menangani tekanan dan mengatur sifat stresnya berbeda-beda, yang kemudian berdampak pada perbedaan tingkatan dalam kecendrungan individu mengalami gangguan mental.

Diathesis dan distres bersinergi meningkatkan probabilitas seseorang mengalami gangguan mental. Berbagai cara dapat dilakukan untuk mencegah peningkatan jumlah orang dengan gangguan mental; yang secara sederhana bertujuan menguatkan mental individu dan "menyehatkan" lingkungan sekitar individu.

Salah satu cara dalam upaya prevensi gangguan mental adalah dengan edukasi mengenai gangguan mental itu sendiri. Masyarakat luas perlu mengetahui seperti apa gangguan mental, dan cara menghadapi gangguan mental atau orang dengan gangguan mental. Salah satu tujuannya adalah mengurangi stigma mengenai gangguan mental, khususnya depresi, di kalangan masyarakat. 

Sejauh ini, orang dengan gangguan mental, terutama depresi, memiliki label buruk dan alih-alih dibantu, orang dengan gangguan mental justru secara tidak langsung ditolak.

Seperti orang yang fisiknya sakit lalu harus dibuatkan bubur karena pencernaannya sedang  tidak cukup kuat untuk menerima nasi atau yang harus memakai kruk untuk berjalan karena kakinya sedang tidak cukup kuat menopang tubuhnya, orang dengan depresi dan gangguan mental lainnya juga membutuhkan dukungan karena psikisnya sedang tidak cukup kuat.

Tidak ada salahnya jika masyarakat memiliki paradigma yang beragam mengenai gangguan mental -- mulai dari sisi biologis hingga mistis -- namun yang perlu ditekankan adalah bagaimana setiap dari masyarakat tersebut menyikapi persepsinya dalam menghadapi orang dengan gangguan mental karena salah satu isu sentral lainnya dalam topik kesehatan mental adalah stigma dan diskriminasi terhadap orang dengan gangguan mental.

Terjadinya stigmatisasi dan diskriminasi berdampak pada munculnya berbagai masalah sosial, ekonomi, bahkan kesehatan di masyarakat.

Analogi berikutnya adalah, jika seseorang yang mengalami gangguan pencernaan tidak diberi bubur dan justru diberi oralit tentu saja akan memperparah keadaannya. Sama dengan orang dengan gangguan mental yang tidak mendapat bantuan profesional dan justru mendapat feedback negatif dari masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun