Cinta yang Tak Pernah Bisa Dimiliki
Hujan turun pelan di luar jendela, memantulkan bayangan lampu jalan yang temaram. Di sebuah kafe kecil di sudut kota, Naya duduk sambil memegang secangkir kopi yang mulai dingin. Di hadapannya, Raka tersenyum, senyum yang selalu membuat dadanya bergetar, tapi juga mengingatkan bahwa ada batas tak kasatmata yang memisahkan mereka.
"Jadi, gimana kabar pernikahanmu? Semuanya baik-baik saja?" tanya Naya dengan nada seceria mungkin.
Raka mengangguk. "Baik. Siska lagi sibuk dengan dekorasi. Kamu tahu dia, kan? Semua harus sempurna," jawabnya sambil terkekeh pelan.
Naya ikut tersenyum, meski hatinya terasa remuk. Siska adalah tunangan Raka, wanita yang akan menjadi istrinya dalam beberapa minggu lagi. Dan Naya? Ia hanya sahabat lama yang selalu ada di setiap momen penting hidup Raka, termasuk saat pria itu melamar Siska.
Waktu terasa melambat setiap kali mereka bersama. Naya ingin percaya bahwa kebersamaan mereka ini cukup, bahwa menjadi sahabat adalah takdir terbaik yang bisa ia miliki. Tapi hatinya, entah bagaimana, tak pernah sepakat.
Semua berawal saat mereka duduk di bangku kuliah. Raka dan Naya sering menghabiskan waktu bersama, belajar, tertawa, hingga saling berbagi mimpi. Naya selalu merasa ada sesuatu di antara mereka---sebuah ikatan tak terucap yang membuatnya yakin bahwa suatu hari mereka akan bersama. Tapi perasaan itu tak pernah terkonfirmasi, hanya mengendap dalam diam.
Ketika Raka memperkenalkan Siska sebagai kekasihnya, Naya tersenyum dan memberi selamat, meski ada retakan kecil yang mulai terbentuk di hatinya. Sejak itu, ia belajar menyembunyikan perasaannya, menjadi sahabat yang baik, dan berusaha mencintai Raka dalam diam.
Malam ini, seperti malam-malam sebelumnya, ia berjuang untuk tetap terlihat tegar. Tapi ada sesuatu yang berbeda. Mungkin karena ini adalah pertemuan terakhir mereka sebelum Raka menikah.
"Naya, aku nggak akan pernah bisa balas semua kebaikanmu," kata Raka tiba-tiba, menatapnya dengan mata yang hangat. "Kamu selalu ada buat aku. Kamu sahabat terbaik yang pernah aku punya."
Kata-kata itu menusuk seperti pisau. Sahabat. Hanya sahabat.