Mohon tunggu...
Fitria Mustikawati
Fitria Mustikawati Mohon Tunggu... Lainnya - Fitria Mustikawati

Seorang istri dan ibu dari dua putri. Guru Pariwisata.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pandemi Belum Berakhir, Begini Perbedaan Hidup antara Penduduk Kota dan Desa di Tengah Pandemi

21 Agustus 2021   14:49 Diperbarui: 15 September 2021   11:55 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Hampir semua orang khususnya masyarakat usia muda menginginkan untuk merantau bahkan bermimpi untuk tinggal di kota besar. Alih-alih gampang mendapatkan pekerjaan membuat orang tergiur pindah dari desa ke kota atau disebut dengan urbanisasi. Berawal dari satu dua orang yang pindah, setelah mereka cukup mapan akhirnya mengajak sanak saudara dari desa untuk mengikuti jejaknya. Beranak pinak di kota, hingga mampu membuat rumah permanen yang mereka tinggali di kota. Alhasil semakin berkurangnya lahan kosong di kota dengan maraknya pembangunan perumahan. Termasuk kedua orang tua saya, yang akhirnya menetap di kota ini. Akibatnya peningkatan penduduk kota pun terjadi.

Memang benar kata sebagian orang, di kota lebih banyak dibutuhkan lapangan pekerjaan. Dengan modal ijazah sekolah menengah pertama, mereka bisa bekerja sebagai buruh pabrik, pelayan toko bahkan pembantu rumah tangga. Apalagi jika diimbangi dengan pendidikan yang lebih tinggi, memang benar perkotaan dijadikan jalan untuk mengais rezeki dan berharap dapat memperbaiki kehidupan ekonominya.

Namun, tinggal di kota besar merupakan tantangan tersendiri. Apalagi semenjak ada pandemi covid-19, ditambah berbagai kebijakan dari pemerintah mulai dari pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PSBB) dan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang terus diperpanjang ini hampir semua sektor perekonomian lumpuh sehingga lapangan kerja semakin sempit. Harga bahan makanan cukup tinggi juga harga sewa rumah yang semakin melambung, mereka tidak bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kembali lagi akhirnya yang kuat secara ekonomi lah yang bisa bertahan. Seperti para pendatang yang memiliki gaji tetap sebagai pegawai pemerintah atau pensiunan, nasib mereka lebih beruntung bisa terus bertahan di perkotaan.

***

''Mang Daseng kemana, gak pernah kelihatan'' tanya saya pada Agil, tetangga sebelah rumah. 

''Dia kan pindah ke kampung istrinya di desa. Semenjak di-PHK dari kantor tempatnya bekerja, Mang Daseng kebingungan, gak ada yang bisa diharapin di kota, katanya. Tabungan sudah semakin menipis.'' jawab Agil. 

Ternyata di desa, biaya hidup jauh lebih murah dibanding di kota. Kebetulan istri Mang Daseng berasal dari suatu perdesaan yang berada di kaki salah satu gunung di Jawa Barat. Untuk bertahan hidup, ia bercocok tanam sayuran karena tanah di sana sangat subur. Akhirnya sudah satu tahun lebih Mang Daseng berubah profesi menjadi seorang petani sayuran. 

''Di desa mah, bahan makanan bisa nanem sendiri. Kalau masalah uang memang sedikit yang didapat, tapi cukup buat hidup sehari-hari, kayak beli gas sama beras. Di kota segala harus beli, terus mahal. Air juga harus bayar, kalau di desa cukup pakai air sumur aja'' ujar Agil mengulang kembali cerita dari Mang Daseng.

Beberapa bulan kemudian saya pun mendapat kabar bahwa Agil pun mengikuti jejak kakak iparnya, Mang Daseng, untuk pindah ke desa. Padahal Agil merupakan warga asli salah satu kelurahan di kota ini. Kebetulan Agil menikah dengan adik dari istri Mang Daseng. Ia memilih untuk pindah, berharap di desa mendapat kehidupan lebih baik.

Sebetulnya selama masa pandemi ini banyak tetangga saya yang pindah ke desa setelah dirumahkan dari pekerjaannya. Fenomena ini lah yang dinamakan ruralisasi. Berusaha mencari pekerjaan lain di masa sekarang juga tidaklah mudah karena para pelaku usaha pun banyak yang gulung tikar. Cukup realistis dengan kondisi sekarang. Bagaimana tidak, rumah kontrakan harus dibayar namun tidak ada penghasilan. Sedangkan di desa, kebanyakan itu rumah orang tua mereka sendiri, tanpa perlu membayar sewa. Menilik kejadian pada tetangga saya, sebetulnya momentum ini baik. Mereka dapat mencoba hal yang baru di desa dengan menggali potensi yang ada di sana. Lahan-lahan subur yang tadinya dibiarkan nganggur, dapat dipergunakan secara optimal menjadi lahan yang produktif. 

Melihat fenomena ruralisasi selama pandemi tentunya harus menjadi perhatian juga dari pihak berwenang. Tak dipungkiri jika dikelola dengan baik, sebetulnya desa memiliki potensi yang luar biasa besar sebab di sana masih terdapat lahan yang layak untuk bertani atau berkebun secara massal untuk mencukupi kebutuhan pangan. Oleh sebab itu, diperlukan kerja sama antara masyarakat dengan instansi pemerintah mulai dari perangkat desa untuk mengelola dana desa secara lebih efektif agar produktivitas desa tetap terjaga keberlangsungannya serta dapat mewujudkan prinsip swadaya dan swakelola (dari desa, oleh desa dan untuk desa). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun