Mohon tunggu...
Qadari S
Qadari S Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa

Makin dibendung, kian deras

Selanjutnya

Tutup

Politik

Reformasi Jilid 2 Sebentar Lagi

13 Februari 2024   20:05 Diperbarui: 13 Februari 2024   20:24 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kecaman dari kalangan akademisi---belakangan makin subur dan tak terbendung---merupakan bentuk anomali dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Saat kekuasaan terus mencoba menyamarkan keadaan, menyembunyikan kegelisahan di benak publik dengan kontra narasi, pada puncaknya apa yang lama terpendam akan mencuat menjadi suara yang lebih lantang. Kebeneran akan menemukan jalannya sendiri dan sekarang jalan itu sedang ditapaki oleh pewaris sah otoritas kebenaran: para Guru Besar, dosen dari lintas bidang keilmuan, dan gerakan mahasiswa. 

Pertama, fungsi pemilu sebagai legitimasi politik sedang dipertanyakan karena adanya beberapa tahapan yang diduga menyalahi aturan. Kecacatan dalam tahapan berarti turut mencedari serangkaian proses dalam bingkai keseluruhan. Kedua, publik merasa ada nilai kepantasan yang dilanggar. Ketiga, kredibilitas produk pemilu pun menjadi dipertanyakan. Puncaknya, akan timbul kesadaran bahwa ada yang salah dalam sistem demokrasi dan tata hukum kita, sehingga ketiga penyimpangan tadi terjadi. 

Kita tidak bisa membayangkan seperti apa jadinya jika ada kekuasaan yang diragukan oleh rakyatnya sendiri. Stabilitas politik menjadi kacau dan akan berpengaruh terhadap sektor lain. Kebutuhan untuk menata ulang kehidupan berbangsa dan bernegara pada mulanya hanya akan disadari oleh sekelompok kecil. Makin lama, seperti api dalam sekam, ia meluas dan---bersamaan dengan itu---terus diperbaharui menjadi satu konsep yang lebih utuh. 

Reformasi 98 baru merupakan tahap awal perkembangan sejarah bangsa ini menuju bentuknya (tata kelola dan infrastrukturnya) yang paripurna. Betapapun pada waktu itu dianggap sebagai yang paling ideal, seiring waktu, berbagai koreksi terus bermunculan. Koreksi yang tidak mendapatkan tempatnya, terus tertimbun dalam ingatan dan baru akan terealisasikan pada era Reformasi selanjutnya.

Syaratnya ada dua, keberadaan oposisi yang konsisten dan keadaan yang tak kunjung terselesaikan . Oposisi bisa berupa partai politik yang kuat di parlemen dan/atau ---terutama---kelompok sipil. Keadaan yang tak terselesaikan berupa kecacatan pemilu yang menjadi pijakan kekuasaan terus dipertanyakan dan munculnya persoalan lain yang mirip seperti yang melatari terjadinya reformasi pertama. 

Nantinya amanat reformasi pertama masih akan dijadikan pijakan, tetapi karena cara-cara yang ditawarkan ternyata tidak mampu mewujudkan itu seutuhnya, maka dibutuhkan satu formulasi cara yang baru. Kemungkinan kedua, bisa juga terjadi perubahan yang lebih prinsipil. 

Reformasi jilid 2 sebentar lagi. Satu atau dua tahun, sepuluh atau dua puluh, pada akhirnya akan terjadi jua dan tak terhindarkan. Tapi sekarang anomali yang menjadi indikasinya sudah mulai bermunculan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun