Mohon tunggu...
Qadari S
Qadari S Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa

Makin dibendung, kian deras

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Tahun Baru adalah Ilusi

1 Januari 2023   02:10 Diperbarui: 1 Januari 2023   02:18 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

31 Desember adalah---harapannya, akhir dari segalanya: penderitaan, lelah, dan semua persoalan yang muncul selama dua belas bulan ke belakang. Konsep tahun beserta pergantiannya menawarkan suatu kategorisasi melalui bagian yang dapat dipisahkan. Dirayakan sebagai ilusi.

Waktu merupakan konsep abstrak yang berfungi untuk memahami dunia dengan cara membaginya ke dalam fragmen-fragmen sehingga setiap peristiwa dan segala sesuatu dapat diidentifikasi. Dunia yang selama ini berusaha kita pahami selalu adalah dunia dalam perspektif kemewaktuan. Sebab manusia hanya bisa memahami yang ada, dan apapun dapat dikategorikan sebagai ada (sejak konsep waktu dilegitimasi) hanya jika menjadi bagian dalam totalitas waktu.

Sekilas tidak ada keganjilan yang mesti dipersoalkan, tapi jika dicermati, kita sebetulnya sedang dihadapkan pada simplifikasi atas realitas yang kompleks. Kategorisasi berdasarkan waktu menjadikan kenyataan---karena fragmentasi tadi, seakan-akan tunggal. Bahkan bisa diulang, diubah, dan diprediksi sesuka hati. Kita menyebutnya perencanaan, sesekali harapan. Lupa bahwa di dunia yang selalu lebih kaos dari apa yang kita sadari, probabilitas adalah tak terhingga.

Dalam segi teknis, penyeragaman berlangsung secara lebih serampangan. Bumi memiliki kecepatan yang tidak teratur dalam orbit lonjongnya. Semata-mata karena dalih kepentingan praktis, diseragamkan dengan acuan Greenwich Mean Time (GMT) di Inggris. Perbedaan antara di timur dan barat, di selatan dan utara, seketika lenyap.

Pada tataran subyek, simplifikasi menyelinap menjadi kesadaran kolektif yang diyakini sebagai kebenaran. Manusia hidup dalam sekat simbol berupa jam, hari, dst., yang lebih dangkal dari waktu itu sendiri. Diam-diam kita menaruh harapan, pergantian waktu (tahun) secara otomatis mengubah keadaan dengan serta merta.

Benar bahwa manusia membutuhkan awalan dan akhir sebagai pangkal eksistensi, tapi keduanya hanya berlaku pada kelahiran dan kematian. Kelahiran adalah titik pertama seseorang mengalami keberadaannya di dunia ini, dan hanyalah kematian yang menjadi akhirannya.

Setelah jarum di Royal Observatory Greenwich berdetak melewati angka 12, dan setelah kembang api bermekaran di langit Ancol lalu tertiup menjadi abu, kehidupan tetap berjalan sebagaimana adanya. Tidak ada yang berbeda selain persepsi terhadapnya. Setiap satu tahun sekali, yang kita rayakan hanyalah ilusi, bukan perubahan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun