Dewasa ini, menggunakan pakaian thrifting memang menjadi budaya yang lekat dengan anak muda gaul di Indonesia, terutama di kota-kota besar. Walau kebiasaan membeli baju bekas sudah ada sejak lama, budaya tersebut semakin populer dan mendapat predikat ‘keren’ lewat media sosial.Â
Secara sederhana, thrifting berasal dari kata 'thrift' yang berarti hemat. Namun seiring dengan berjalannya waktu, istilah ini digunakan untuk kebiasaan berbelanja baju atau barang bekas sebagai bentuk hemat. Harga yang murah serta kualitas pakaian yang unik dan ‘berkualitas’ menjadi daya tarik dari thrifting.Â
Teknologi juga berperan besar terhadap praktik thrifting. Pasar thrift di kota-kota besar Indonesia juga sudah pasti ada.
Untuk yang berdomisili di luar kota besar, thrifting tidak perlu dilakukan secara langsung karena kini sudah ada banyak thrift shop daring di media sosial.
Pembelian pakaian thrift ini juga bisa dilakukan satuan dengan harga miring hingga dalam bentuk bal yang berisi ratusan pakaian dengan budget jutaan.
Funfact: tidak jarang ditemukan beberapa pakaian dengan merek besar masuk ke pasar thrift karena sudah tidak dipakai oleh pemiliknya.
Oleh karena itu, banyak orang yang memang meluangkan waktu lebih banyak berburu 'harta karun' seperti ini di pasar thrift.Â
Namun, dibalik naiknya budaya thrifting, ada banyak ancaman dan efek domino yang hadir bagi pasar Indonesia.Â
UMKM yang Kalah Saing
Thrifting adalah salah satu bentuk aktivitas mencari dan membeli barang-barang bekas. Biasanya, barang-barang bekas yang masih layak pakai ini berasal dari luar negeri. Dalam kata lain, kita membeli barang-barang impor bekas yang dijual kembali dengan harga yang lebih 'miring'.
Dilansir dari Pramborsfm, Kementerian Koperasi dan UKM (Kemenkop dan UKM) menyebut praktik thrifting atau penjualan pakaian bekas (thrift shop) dapat mematikan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) Indonesia.