Menurut Deputi Bidang UKM Hanung Harimba Rachman, thrifting berpotensi menurunkan minat terhadap produk UMKM. Hal itu terutama apabila barang thrifting tersebut merupakan produk luar negeri.Â
Para pengusaha thrift dinilai bisa mengambil untung sangat besar bahkan jika menjual barang dengan harga miring.
Hal ini dikarenakan modal awal yang dikeluarkan untuk membeli barang bekas juga dinilai sedikit. Apalagi jika pembelian dilakukan dalam jumlah besar, tentu untungnya makin besar.
Hal ini tentunya berbeda dengan UMKM. Pengusaha dalam negeri harus mengeluarkan modal yang relatif lebih banyak dan menjual kembali dengan harga yang lebih mahal daripada harga pakaian thrift. Apalagi jika ditambah dengan pajak sebesar 11%.
Turunnya minat pada pakaian yang dijual UMKM ini tentunya juga bisa memberikan efek domino hingga usaha yang bangkrut, pemecatan karyawan, dan berujung pada angka pengangguran yang meningkat.Â
'Buang' Sampah Pakaian di Indonesia
Dilansir oleh BBC, Indonesia secara tidak langsung dianggap sebagai negara yang menampung sampah pakaian dari negara asal.
Oleh karena itu, keluarlah Permendag Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 tentang Larangan Impor Pakaian Bekas. Dalam aturan ini disebutkan bahwa barang bekas impor yang yang masuk ke wilayah Indonesia wajib dimusnahkan dan importir akan terkena saksi sesuai peraturan perundang-undangan.Â
Seperti yang kita tahu, proses dekomposisi pakaian membutuhkan waktu yang tidak singkat. Dilansir dari laman Tirto.id, kain nilon bersifat lentur dan umumnya digunakan pada produk-produk olahraga dan kerajinan tangan akan terurai dalam jangka waktu 30-40 tahun.
Kemudian bahan-bahan sintetis seperti polyester atau lycra juga membutuhkan waktu 20 hingga 200 tahun untuk terurai.Â
Apalagi, dalam satu bal berisi pakaian bekas pasti ada pakaian yang tidak layak pakai. Oleh karena itu, pasti akan ada tambahan sampah kain dari industri thrifting yang tidak sedikit.