"Urip iku sawang Sinawang, nduk. Ojo gumunan, Ojo kagetan. Masalahe uwong ora ono sing reti."
Beberapa kalimat di atas adalah ucapan ibu saya saat sesi 'curhat' selagi memasak bersama hari itu.Â
Beliau mengucapkan dengan enteng sambil memotong beberapa bawang putih. Berbanding terbalik dengan ibu, saya menjadi terdiam termenung memikirkan ucapan beliau.
Kata orang, usia 20-an adalah usia emas. Usia saat manusia menjadi dewasa. Usia untuk bersenang-senang dan mencoba hal baru. Usia produktif untuk bekerja keras. Usia pondasi usaha untuk masa depan. Katanya.
Namun, kenapa  pikiran saya tidak berkata demikian?
Usia 20an adalah masa terberat yang saya alami. Well, saya belum melewati usia ini sepenuhnya, tentu saja. Namun, saya merasa sangat tidak senang di usia 20-an ini.
Mungkin banyak yang sudah tau, masyarakat secara kultural menetapkan definisi 'kaku' tentang berbagai hal. Contohnya adalah definisi sukses.Â
Masyarakat secara tidak langsung menyatakan 'sukses' itu jika sudah lebih di bidang ekonomi. Sudah punya banyak aset seperti mobil, rumah, dan berbagai jenis aset lain.Â
Atau, misalnya, definisi usia ideal. Usia ideal menikah, usia ideal lulus kuliah, usia ideal sukses, usia ideal punya anak, dan lain-lain.Â
Nah, orang-orang lain yang tidak masuk dalam kategori ideal versi masyarakat ini secara tidak langsung merasa diri kurang atau tidak cukup. Merasa tidak sesuai dengan standar yang masyarakat tentukan.