Mohon tunggu...
Putri Wulandari
Putri Wulandari Mohon Tunggu... Lainnya - English Tutor | Freelance Content Writer

Random Thought About Lifestyle, Movies, K-drama, Beauty, Health, Education and Social Phenomena | Best Student Nominee Kompasiana Awards 2022

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Sawang Sinawang, Cara Mengatasi Insecure a la Orang Jawa

23 November 2022   18:00 Diperbarui: 27 November 2022   09:11 676
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Urip iku sawang Sinawang, nduk. Ojo gumunan, Ojo kagetan. Masalahe uwong ora ono sing reti."

Beberapa kalimat di atas adalah ucapan ibu saya saat sesi 'curhat' selagi memasak bersama hari itu. 

Beliau mengucapkan dengan enteng sambil memotong beberapa bawang putih. Berbanding terbalik dengan ibu, saya menjadi terdiam termenung memikirkan ucapan beliau.

Kata orang, usia 20-an adalah usia emas. Usia saat manusia menjadi dewasa. Usia untuk bersenang-senang dan mencoba hal baru. Usia produktif untuk bekerja keras. Usia pondasi usaha untuk masa depan. Katanya.

Namun, kenapa  pikiran saya tidak berkata demikian?

Usia 20an adalah masa terberat yang saya alami. Well, saya belum melewati usia ini sepenuhnya, tentu saja. Namun, saya merasa sangat tidak senang di usia 20-an ini.

Mungkin banyak yang sudah tau, masyarakat secara kultural menetapkan definisi 'kaku' tentang berbagai hal. Contohnya adalah definisi sukses. 

Masyarakat secara tidak langsung menyatakan 'sukses' itu jika sudah lebih di bidang ekonomi. Sudah punya banyak aset seperti mobil, rumah, dan berbagai jenis aset lain. 

Atau, misalnya, definisi usia ideal. Usia ideal menikah, usia ideal lulus kuliah, usia ideal sukses, usia ideal punya anak, dan lain-lain. 

Nah, orang-orang lain yang tidak masuk dalam kategori ideal versi masyarakat ini secara tidak langsung merasa diri kurang atau tidak cukup. Merasa tidak sesuai dengan standar yang masyarakat tentukan.

Misalnya, ada mahasiswa yang belum bisa lulus kuliah tepat waktu. Dia secara tidak langsung mendapatkan presure atau tekanan dari lingkungan sekitar karena mahasiswa seusia dia umumnya sudah lulus. 

Padahal tidak ada yang tau sebesar apa usaha dia untuk segera lulus. Misalnya saja penelitian yang dia lakukan tergolong sulit, dosen pembimbing yang kurang kooperatif, dan banyak distraksi lain. 

Atau misalnya ada seseorang yang memang sudah nyaman menggunakan ponsel pintar android, tetapi ternyata dicemooh orang sekitarnya yang mayoritas menggunakan iOS. Alhasil, ia menjadi tidak nyaman dan merasa tidak cukup dengan ponsel pintarnya.

Apalagi dengan kebebasan mengungkapkan segala sesuatu yang diberikan oleh sosial media. Rasanya, masyarakat seperti berlomba-lomba memberitahukan pencapaian dan banyak hal baik dalam hidup mereka. 

Sebenarnya ini adalah hak masing-masing orang. Mereka berhak mengabadikan berbagai hal di akun mereka masing-masing. Namun, para penonton mereka akan kurang merasa cukup, kurang merasa bersyukur dengan apa yang mereka punya saat itu. Hal ini biasa disebut dengan insecure.

ilustrasi insecure (sumber: Siloam Hospitals)
ilustrasi insecure (sumber: Siloam Hospitals)

Dilansir dari Kompas.com, insecure adalah perasaan tidak mampu atau tidak cukup baik yang sering kali membuat kita berada pada situasi ketidakpastian. 

Menurut WebMD, perasaan insecure membuat seseorang mengalami kecemasan tentang tujuan-tujuan dalam hidup, hubungan, hingga kemampuan untuk mengatasi situasi tertentu.

Dan situasi inilah yang saya alami di usia 20-an. Saya merasa apa yang saya punya saat ini tidak cukup. Saat melihat berbagai pencapaian orang lain di berbagai sosial media, saya mempertanyakan banyak hal kepada diri saya. Apa yang saya lakukan saat ini benar? 

Apa ini semua sesuai dengan gambaran masa depan yang saya inginkan? Kenapa saya tidak seperti orang ini? Apa yang saya lakukan saat seusia dia?

Awalnya, rasa insecure membuat saya lebih semangat. Rasa ini menjadi pecutan bagi saya untuk lebih bekerja keras. Namun, seperti dua sisi koin, insecure juga memberikan efek negatif. Insecure ini lah yang membuat saya menjadi sangat perfeksionis. 

Saya selalu kurang puas dengan apa yang saya miliki. Saya juga merasa tidak percaya diri dan selalu mempertanyakan kemampuan diri sendiri. Bahkan, saya membatasi interaksi sosial dengan banyak orang.

Karena sudah merasa sangat berat dan mulai toxic, saya memutuskan untuk curhat ke ibu tentang apa yang saya alami. Dan jawabannya adalah 'Sawang Sinawang'

Apa itu filosofi 'Sawang Sinawang'?

Jika ditilik lagi, Sawang Sinawang adalah salah satu konsep atau filosofi hidup orang Jawa yang lumayan terkenal. 

Sebagaimana dilansir dari Kumparan.com, Sawang Sinawang adalah nasehat agar kita tidak terlalu sibuk melihat kehidupan orang lain dan mengabaikan keberuntungan di dalam hidup diri sendiri.

Menurut mojok.co, sawang sinawang tidak mengajarkan tentang melihat dan dilihat saja, tetapi mencoba melihat jauh tentang apa yang ada di balik itu. 

Kita pasti pernah melihat video di balik kesuksesan seseorang. Bagaimana orang tersebut berjuang untuk kesuksesan yang ia raih saat ini. Biasanya disertai dengan berbagai macam foto jadul dan tahun yang terpaut jauh yang kemudian disertai dengan narasi perjuangan. 

Bagaimana pengorbanan mereka, risiko yang mereka ambil, dan kegigihan dalam berusaha. Yang kita tahu mungkin hanya secuil fakta saat mereka sudah sukses, tetapi tidak dengan perjuangannya.

"Urip iku sawang sinawang, mula aja mung nyawang sing kesawang"

Saat ada teman saya di kampus lain sudah wisuda, saya iri tentu saja. Saya kemudian mulai mempertanyakan usaha saya selama ini. Padahal, saya tidak tahu bagaimana perjuangan dia untuk menyelesaikan skripsi hingga wisuda. 

Bolak-balik revisi, brainstorming, dan lain-lain. Tahapan ini tidak sepenuhnya tercermin lewat postingan di sosial media. Apa yang mungkin hanya yang baik-baik saja. Pasti ada sisi buruk yang dialami orang-orang yang tidak bisa dijelaskan dengan gamblang.

Saat ditilik lagi, jenis pendidikan yang ditempuh teman saya juga berbeda. Jurusan juga berbeda. Tipe pembelajaran juga berbeda. Jenis penelitian untuk skripsi pun berbeda. Dari sini  juga bisa dilihat titik awal atau starting point yang berbeda juga berpengaruh. 

Apa yang dilihat saat ini bisa jadi bukan yang sebenarnya. Fokus dengan apa yang orang lain capai hanya akan membuat diri makin insecure. Lebih baik, fokus pada diri sendiri. 

Memperbaiki mindset agar menjadi lebih tenang dan fokus akan tujuan. Dan tentunya, lebih bersyukur. Diri sendiri juga berhak dipuji atas sesedikit apapun usaha dan pencapaian.

Walaupun rasa insecure ini belum sepenuhnya hilang, penerapan konsep ini memberikan sedikit oase bagi diri saya. Yang bisa saya lakukan saat ini adalah selalu mencoba untuk tidak membandingkan diri sendiri dengan orang lain, dan tentunya lebih bersyukur akan apa yang saya punya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun