Mohon tunggu...
Putut Said Permana
Putut Said Permana Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

education enthusiast

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Tantangan Stunting Pada Pendidikan Tinggi

2 Agustus 2024   14:55 Diperbarui: 21 Agustus 2024   18:44 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Indonesia menghadapi tantangan besar dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia, salah satunya adalah masalah stunting. Data menunjukkan bahwa prevalensi rata-rata stunting di Indonesia pada tahun 2005—2017 mencapai 36,4%. Stunting, atau kekurangan gizi kronis pada anak di bawah usia lima tahun, tidak hanya berdampak pada pertumbuhan fisik tetapi juga perkembangan kognitif anak. Kondisi ini mengancam masa depan generasi muda dan, pada gilirannya, masa depan bangsa. Pendidikan tinggi, sebagai salah satu pilar utama pembangunan sumber daya manusia, harus mengambil peran proaktif dalam menghadapi tantangan ini.

Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat kekurangan gizi yang berlangsung lama, terutama pada 1000 hari pertama kehidupan. Anak-anak yang mengalami stunting cenderung memiliki kecerdasan yang lebih rendah, prestasi akademik yang buruk, dan produktivitas yang rendah di masa dewasa. Mereka juga lebih rentan terhadap penyakit kronis di masa depan. Tingginya angka stunting di Indonesia menjadi ancaman serius bagi pengembangan sumber daya manusia yang berkualitas.

Pemerintah telah meluncurkan berbagai program untuk mengurangi angka stunting, termasuk kampanye nasional untuk meningkatkan kesadaran tentang pentingnya gizi pada seribu hari pertama kehidupan, pemberian makanan tambahan bagi balita dan ibu hamil, serta peningkatan layanan kesehatan dan sanitasi. Pada tahun 2022, angka prevalensi stunting berhasil diturunkan menjadi 24,4%. Meskipun penurunan ini menunjukkan kemajuan, angka tersebut masih jauh dari target pemerintah untuk mencapai prevalensi stunting di bawah 20% pada tahun 2024. Oleh karena itu, upaya kolektif dari berbagai sektor, termasuk pendidikan tinggi, sangat diperlukan untuk terus menurunkan angka stunting di Indonesia.

Tindakan preventif itu tentu saja sudah tidak bermanfaat bagi anak yang terlanjur stunting. Jika kita melihat kembali angka prevalensi rata-rata 36,4 % di rentang tahun 2005—2017, maka sebagian dari anak-anak stunting itu sangat dimungkinkan saat ini sedang atau akan menempuh pendidikan tinggi. Yang kemudian menjadi permasalahan adalah kenyataan bahwa dampak stunting tidak hanya berhenti pada masa kanak-kanak tetapi juga berlanjut hingga dewasa. Tidak hanya fisik, namun juga pada ranah kognitif dan psikososial. Orang dewasa yang mengalami stunting di masa kecil cenderung memiliki kemampuan kognitif yang lebih rendah, yang mempengaruhi kemampuan mereka dalam berpikir kritis, memecahkan masalah, dan membuat keputusan. Kemampuan kognitif yang terhambat ini berpotensi mengurangi produktivitas kerja dan peluang untuk berkembang dalam karier. Selain itu, stunting mempengaruhi kemampuan sosial seseorang. Mereka cenderung memiliki keterampilan sosial yang lebih rendah, yang dapat menghambat interaksi sosial, kemampuan berkomunikasi, dan bekerja dalam tim. Keterbatasan ini berdampak pada kualitas hidup dan mengurangi kesempatan untuk berkontribusi secara maksimal dalam masyarakat.

Kembali ke pendidikan tinggi, mahasiswa yang terdampak stunting sangat mungkin menghadapi berbagai masalah, salah satunya adalah kemampuan akademik yang lebih rendah. Namun, sayangnya, banyak perguruan tinggi di Indonesia masih belum memberikan perhatian yang cukup terhadap kebutuhan khusus mahasiswa ini. Kualitas pembelajaran yang diterima sebagian besar mahasiswa saat ini masih jauh dari kualitas terbaik, terutama bagi mereka yang membutuhkan dukungan tambahan. Sering kali, mahasiswa menghadapi metode pengajaran yang kaku dan tidak adaptif. Dosen cenderung menggunakan pendekatan satu ukuran untuk semua, tanpa mempertimbangkan perbedaan individu dalam kemampuan belajar. Kurangnya fleksibilitas dalam kurikulum dan metode pengajaran membuat mahasiswa yang terdampak stunting kesulitan untuk mengejar ketertinggalan mereka. Ditambah lagi, minimnya dukungan kesehatan mental dan fisik membuat situasi semakin sulit bagi mereka.

Dari sisi dosen, mereka menghadapi tantangan yang tak kalah berat. Banyak perguruan tinggi sangat bergantung pada jumlah mahasiswa untuk tetap beroperasi. Hal ini memaksa dosen untuk mengajar mahasiswa dengan berbagai tingkat kemampuan, termasuk yang memiliki daya logika rendah akibat dampak stunting. Tekanan untuk mempertahankan jumlah mahasiswa sering kali mengorbankan kualitas pendidikan. Dosen harus berjuang dengan kelas yang heterogen, mencoba menyeimbangkan kebutuhan semua mahasiswa tanpa mengorbankan standar akademik.

Selain itu, dosen menghadapi kendala dalam mengidentifikasi dan memahami dampak stunting pada mahasiswa. Minimnya pelatihan khusus mengenai cara menangani mahasiswa yang terdampak stunting membuat dosen sering kali tidak siap dalam memberikan dukungan yang tepat. Dosen mungkin juga tidak memiliki akses ke sumber daya atau alat bantu yang diperlukan untuk membantu mahasiswa ini secara efektif. Beban kerja yang tinggi dan tuntutan administratif yang banyak sering kali mengurangi waktu yang dapat digunakan dosen untuk memberikan perhatian individual kepada mahasiswa yang membutuhkan.

Jika mahasiswa terdampak stunting tidak mendapatkan perhatian yang cukup, dampak yang mungkin terjadi dapat berkisar dari skala kecil hingga besar.

Skala kecil: Mahasiswa mungkin mengalami kesulitan dalam memahami materi, yang mengarah pada penurunan nilai dan pencapaian akademik. Mereka mungkin juga mengalami stres dan frustrasi yang lebih tinggi, yang berdampak pada motivasi dan keterlibatan mereka dalam pembelajaran.

Skala menengah: Akumulasi kesulitan akademik dapat menyebabkan keterlambatan dalam penyelesaian studi. Mahasiswa yang kesulitan untuk mengikuti kurikulum dapat menghadapi penurunan kepercayaan diri dan kehilangan peluang untuk berpartisipasi dalam kegiatan ekstrakurikuler yang bermanfaat untuk pengembangan keterampilan.

Skala besar: Dampak jangka panjang dari ketidakmampuan untuk mengatasi kesulitan akademik dapat mengakibatkan kegagalan dalam meraih gelar sarjana. Ini berpotensi mengurangi peluang kerja dan menghambat akses ke peluang profesional yang lebih baik. Selain itu, mahasiswa yang tidak mendapatkan dukungan yang memadai dapat menghadapi tantangan dalam kesehatan mental, yang dapat berdampak negatif pada kualitas hidup mereka dan kontribusi mereka terhadap masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun