Aku menyaksikan video pendek itu dengan hati yang gelisah. Detik-detik sebelum sebuah nyawa melayang. Video itu viral di beberapa platfom media sosial, dan aku seperti terlempar ke dalam tragedi carok berdarah itu.
Peristiwa terjadi di Desa Ketapang Laok, Sampang. Seorang warga, yang disebut-sebut berinisial J, tewas setelah dikeroyok sekelompok orang bersenjata celurit. Kejadiannya berlangsung tak lama setelah calon bupati Slamet Junaidi berkunjung ke seorang tokoh agama setempat.
Ada kabar bahwa massa bersenjata menghadang perjalanan Junaidi, meski akhirnya ia berhasil menghindar lewat jalan lain. Tragisnya, korban J yang menjadi saksi pasangan calon bupati Jimat Sakteh justru tak luput dari insiden itu.
Aku menghela napas panjang. Bagaimana bisa sebuah perbedaan pilihan politik membawa seseorang kehilangan nyawa?
Ketapang Laok kini menjadi panggung yang memperlihatkan betapa tajamnya polarisasi di tengah masyarakat. Aku mencoba memahami, namun sulit diterima nalar.
Mengapa konflik politik, yang seharusnya menjadi arena gagasan dan kompetisi sehat, berujung pada pembantaian? Apakah ini cermin dari kegagalan kita menjaga nilai-nilai demokrasi?
Desa Ketapang Laok bukan sekadar latar, tetapi mikro-kosmos dari realitas sosial kita yang penuh bara. Rasa fanatisme berlebihan, sempitnya wawasan, dan lemahnya kemampuan mengelola perbedaan.
Aku teringat berita lain, serupa namun tak sama. Di berbagai daerah, konflik menjelang pemilu selalu menyisakan cerita pilu. Bukan hanya soal nyawa yang hilang, tetapi luka sosial yang terus menganga.
Di media, semua ini dilaporkan sebagai "kasus politik", namun aku percaya ada yang lebih dalam. Mungkin ini tentang identitas, ketidakadilan, atau rasa frustasi yang terpendam lama.
Lalu aku bertanya pada diri sendiri: apa sebenarnya yang kita cari dalam demokrasi? Apakah kekuasaan begitu memabukkan hingga nyawa manusia menjadi tak berharga?
Carok di Ketapang Laok adalah alarm keras bagi kita semua. Ia bukan sekadar tragedi lokal, tetapi simbol dari persoalan nasional. Kita belum selesai dengan pendidikan politik. Kita masih mudah terprovokasi, menjadi alat dalam permainan kuasa tanpa sadar sedang merusak diri sendiri.