Mohon tunggu...
Putut Dairobi
Putut Dairobi Mohon Tunggu... Freelancer - Bukan apa apa, hanya apa adanya

hidup adalah pergerakan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Karma dan Matinya Kemanusiaan

6 Oktober 2020   09:25 Diperbarui: 6 Oktober 2020   09:33 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: matablitar.com

Apa yang dialami Bu tarsih saat ini, kata Mbah Min, adalah buah dari semua yang sudah dilakukannya di masa lalu, "semacam karma" tuturnya yang kemudian menghela nafas panjang, kata kata nya terhenti, wajahnya yang keriput itu seakan ingin bercerita banyak hal, namun gamang akan memulainya dari mana. Ia ambil secangkir kopi hitam di depannya, disruputnya pelan-pelan, kemudian ia nyalakan rokok vaforitnya, tengwe dari tembakau grewol yang di kasih bumbu cengkeh pakde ayem.

Di masa mudanya, kata Mbah Min, Bu Tarsih itu termasuk perempuan cantik rupawan, hampir semua lelaki yang pernah bertemu pasti jatuh hati padanya. Namun dibalik kecantikannya itu, ada sifat tidak baik dalam dirinya, seperti suka merendahkan orang lain.

Dulunya, Bu Tarsih termasuk keluarga kaya raya, bahkan mungkin paling kaya sekampung, rumahnya bagus, lahan persawahannya juga luas, punya beberapa mobil pribadi, perhiasan emas juga tak sedikit berkilauan di leher dan tangannya.

Meskipun tergolong orang yang berlebih dalam hal harta, namun Bu Tarsih bukan termasuk orang yang dermawan, bahkan kata Mbah Min ibu itu sangat pelit sekali, peribahasanya kalau menggenggam air pastinya tidak akan menetes.

Dalam kesehariannya, bu Tarsih sangat individual, tidak suka bersosialisasi dengan masyarakat sekitarnya, bahkan sikap dan kata katanya sering menyakiti para tetangga, seakan dia menganggap semua orang tidak level dengan dirinya.

Sedangkan para kerabat dan saudara kandungnyapun banyak yang tidak suka dengan Bu Tarsih. Karena sifat yang semaunya sendiri, dan sulit diajak dialog serta di beri nasihat oleh famili familinya.

Kini saat semuanya berbalik, entah tepatnya karena apa, semua harta benda bu Tarsih habis terjual, tak satupun harta kekayaan yang masih dimilikinya. Suami serta anaknya juga meninggalkannya.

Para tetangga dan sanak famili seakan bertepuk tangan, atas kondisi yang dialami bu Tarsih, miskin sakit dan sebatang kara. Tak ada lagi yang disombongkan atas kekayaannya, pun juga tak ada lagi yang bisa di banggakan atas kecantikannya.

Mungkin ini cara Tuhan mengingatkan bu Tarsih, sekaligus pelajaran bagi semua, bahwa semua yang dimiliki sejatinya hanyalah titipan, dan sewaktu waktu bisa atau akan diambil oleh sang Maha memiliki. Sehingga menyadari hal itu akan menjauhkan seseorang dari kesombongan atas nikmat.

Terlepas dari karma dan atau apalah namanya yang sedang menimpa Bu Tarsih, bukankah membalas keburukan dengan keburukan adalah sesuatu yang sama-sama buruk?! Rasa kemanusiaan mestinya tetap memanusiakan manusia, meski seberapapun kesalahan yang dilakukan manusia, ia tetaplah ciptaan sang Maha Pencipta.

"Monggo diunjuk kopine, Iki kopi petik Purnama, digoreng kreweng mung campuri beras sitik. Luweh enak di com gak katek gulo," tutur Mbah Min membuyarkan lamunanku.

Pernah dimuat di matablitar.com.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun