Seorang teman aktivis hak-hak sipil mengusap dada ketika menceritakan dengan suara berat bahwa Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) telah diajukan untuk disahkan DPR sejak hampir 19 tahun lalu. Teman tersebut mempertanyakan kesungguhan negara ini untuk hadir memberi perlindungan terhadap warga yang sangat lemah. Seketika saya sendiri merasa malu hidup di sebuah negara yang dalam beberapa segi telah tampak cukup modern dan demokratis tetapi di sisi lain belum mampu memberi jaminan perlindungan bagi warganya yang paling rentan terhadap diskriminasi dan perlakuan sewenang-wenang.
Pembantu Rumah Tangga (PRT) memang bukan bidang pekerjaan yang seksi (baca: menarik) di mata politisi dan pelaku bisnis. Karena itu barangkali RUU tersebut dipandang sebelah mata oleh para politisi selama hampir 19 tahun dan baru mendapat perhatian kembali setelah pidato Presiden Jokowi kurang lebih 2 bulan lalu menyinggung isu tersebut. Kegagalan mengesahkan RUU tersebut selama hampir 19 tahun adalah borok dalam catatan demokrasi dan perjalanan Reformasi Indonesia. Negara ini akan tetap dipandang tertinggal dalam peradaban jika belum mampu memberikan jaminan perlindungan bagi semua warganya, terutama kelompok paling lemah dan rentan.
Kita tahu kasus-kasus kekerasan, diskriminasi, pengabaian hak-hak dan perbuatan sewenang-wenang terhadap PRT hampir tiap hari berseliweran di media. Ini bukti telak bahwa negara ini gagal melindungi warganya yang paling rentan dan lemah. Karena itu tidak ada alasan untuk menunda pengesahan RUU tersebut.
Kalau kita cermati isi draf RUU tersebut, kepastian hukum  tidak hanya akan tersedia bagi PRT tetapi juga bagi para majikan dan penyalur kerja. Dalam draf tersebut, misalnya, diatur bahwa PRT berhak mendapatkan jam kerja yang manusia tetapi di pasal lain juga diatur bahwa pemberi kerja (majikan maupun agen penyalur) berhak mendapatkan hasil pekerjaan sesuai dengan kesepakatan.
Jika dibaca keseluruhan, tampak jelas bahwa RUU PPRT didesain untuk memberi kepastian bagi semua pihak dengan tetap mengedepankan adanya kesepakatan upah, jam kerja dan berbagai detail lain antara PRT dan majikan atau agen penyalur. Kehadiran UU PPRT akan meminimalisir perlakukan-perlakuan sewenang-wenang pihak manapun karena ada jerat pidana bagi pihak yang tak mentaati kesepakatan. Dengan demikian PRT dapat berdiri sejajar secara hukum dengan majikan atau dengan penyalur kerja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H