Kebijakan-kebijakan populis dengan visi jangka pendek seperti tergambar dalam penanganan persoalan jagung beberapa tahun lalu juga terekam dalam kebjiakan-kebijakan terhadap komidi pangan lainnya.Â
Kita tidak pernah menemukan adanya upaya serius dan terukur dari pemerintah untuk mendorong masyarakat semakin menggemari makanan-makanan berbahan lokal seperti sagu, ubi, talas, jagung dan sebagainya.Â
Diversifikasi pangan di Indonesia pada prakteknya selalu melibatkan pangan berbahan impor. Anjuran untuk mencintai bahan-bahan pangan lokal hanya bisa kita temukan dalam retorika-retorika politik populis, bukan dalam program-program (kebijakan) yang dijalankan dengan target-target terukur.
Nuansa kebijakan populis itu juga kita temukan dalam program ketahanan pangan yang sekarang sedang hangat diperbincangkan secara luas yakni food estate.Â
Terlepas dari banyaknya kritik atas kegagalan program tersebut mencapai target yang dicanangkan, sejak dalam rancangan kita bisa melihat bahwa program seperti itu lebih berdimensi populis, bukan solusi serius atas ketergantungan Indonesia terhadap bahan-bahan pangan impor.
Konsep ketahanan pangan dewasa ini tidak lagi hanya mengukur ketersediaan bahan pangan dalam sebuah negeri sehingga dapat mencegah terjadinya kelaparan. Ketahan pangan juga mengukur sejauh mana ekonomi sebuah negara dapat bertahan dari hantaman gejolak harga pangan global.Â
Dalam perspektif ini, seandainya food estate berhasil mencapai target (stok pangan dalam negeri melimpah) kita tetap sangat rentan terhadap gejolak harga pangan dunia karena ketertangungan masyarakat terhadap makanan-makanan berbahan impor (terutama gandum) semakin tinggi dari waktu ke waktu.Â
Jika pelaku industri tak mampu lagi membeli gandum, kedelai dan bahan-bahan pangan impor lainnya, gejolak ekonomi akan terjadi di negeri ini.
Ketergantungan terhadap pangan berbahan impor pada akhirnya juga akan mengganggu upaya kita menyuskeskan program ketahanan energi.Â
Pengurangan ekspor energi untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri tidak mungkin bisa dijalankan pemerintah dengan mulus dalam jangka panjang, karena produsen-produsen gandum (Barat) dan bahan-bahan pangan impor lainnya akan memberikan tekanan melalui langkah serupa (pengetatan ekspor ke Indonesia). Skema ini akan membuat posisi Indonesia terus melemah dalam tatanan geopolitik pangan global.
Kita mungkin akan sangat kesulitan mengikuti langkah Cina yang berhasil menyukseskan produksi gandum dan komoditi lainnya yang sebelumnya diimpor dari negara-negara lain.Â