Buya Safii Maarif beberapa kali saya saksikan di media berbicara dengan suara bergetar saat mengkritisi praktek kebangsaan yang jauh dari cita-cita para pendiri negara ini. Buya kerap menyampaikan keprihatinan atas praktek intoleransi, rendahnya moral politik hingga soal-soal spesifik yang menimpa masyarakat kecil. Suaranya yang bergetar, bagi saya pribadi, menandakan keprihatinan mendalam dan ketulusan dalam menyampaikan kritik demi keutuhan dan kemajuan negeri yang amat dicintainya.
Bagi Buya Indonesia mesti menjadi rumah yang nyaman bagi semua warganya terlepas dari perbedaan-perbedaan primordial dan itu hanya bisa terwujud jika para politisi memegang erat moral politik kebangsaan. Dua hari lalu guru bangsa yang bersahaja dan karismatik itu telah berpulang menghadap sang Pencipta. Kita tidak akan mendengar lagi petuah dan suara kritisnya dengan suara bergetar disertai mimik serius nan tulus.
Puluhan tahun mengikuti kiprah Buya di dunia intelektual dan dalam gerakan-gerakan aktivisme sosial, tak ada keraguan sedikitpun bagi saya untuk memposisikannya sebagai salah satu guru bangsa yang telah memberi sumbangan tak ternilai bagi negeri ini.
Saya mulai memberi perhatian lebih intens pada pemikiran dan kiprah Buya ketika terjun sebagai salah satu relawan Romo Mangun membantu korban penggusuran pembangunan waduk Kedung Ombo sekitar pertengahan 1980-an. Dalam beberapa kesempatan saya beberapa kali menyaksikan Buya Safii Maarif berbicara di forum yang dihelat relawan Romo Mangun karena kedua tokoh itu bersahabat dekat dan memiliki perhatian yang sama tentang nilai-nilai pluralisme serta pembelaan pada masyarakat kecil dan lemah. Saya juga kemudian akrab dengan pemikiran Gusdur dan Nurcholis Madjid. Keempat tokoh itu kemudian saya anggap sebagai guru bangsa yang sangat penting bagi negeri ini. Mereka tak pernah mengenal lelah untuk memperjuangkan keutuhan negeri ini dari rongrongan kaum fundamentalis.
Di kemudian hari, ketika semakin sering terlibat dalam gerakan-gerakan sosial yang dimotori Gus Dur, pemikiran dan kiprah Buya semakin akrab bagi saya. Saya mengagumi kesederhanaan Buya dalam penampilan dan pembawaan diri sehari-hari. Demkian juga dengan kerendahan hatinya saat berbicara di forum maupun dalam diskusi-diskusi informal. Padahal beliau adalah sosok besar dalam dunia intelektual dan seorang figur publik yang dihormati di dalam maupun luar negeri.
Buya adalah guru dalam hal integritas. Secara sederhana integritas di sini saya artikan sebagai kesesuaian antara ucapan, pemikiran dan perbuatan. Buya tidak hanya mengajarkan pentingnya membela masyarakat miskin, tetapi juga memberi teladan hidup sederhana sebagai bentuk simpati kepada masyarakat miskin. Beliau tidak hanya mendorong pentingnya berpihak pada kelompok minoritas yang terjolimi tetapi juga menunjukkkan secara nyata keberpihakan itu dengan memberikan dukungan kepada kelompok minoritas saat praktek-praktek intoleransi terjadi. Beliau tidak pernah ragu untuk berdiri di samping korban-korban praktek intoleransi.
Dari berbagai sumber yang saya telusuri, hingga akhir hidupnya Buya hidup dari honor menulis dan dari gajinya sebagai seorang akademisi. Beliau tidak pernah silau oleh tawaran kekuasaan. Bahkan Jokowi yang terkenal sebagai politisi kerakyatan itu tidak berhasil menggodanya untuk masuk dalam kekuasaan. Keteguhan Buaya untuk menjaga jarak dari kekuasaan saya yakini merupakan kunci keberhasilannya menjaga integritas. Beliau adalah sosok yang merdeka, tidak pernah terpasung oleh jabatan, kepentingan dan kekuasaan politik manapun. Sosok seperti ini akan sangat sulit kita temukan di kemudian hari karena itu tidak akan pernah habis air mata mengangisi kepergiaannya. Selamat jalan Buya, semoga teladan dan petuah-petuahmu terus hidup di negeri ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H