Di tengah kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan gas yang dipicu oleh perang Ukraina-Rusia, pemerintah kembali dihadapkan pada 2 pilihan sulit.Â
Pilihan pertama, menaikkan harga BBM sesuai dengan kenaikan ICP (Indonesian crude price) yang mengikuti tren harga global. Pilihan kedua, mempertahankan harga dengan menaikkan subsidi.
Taruhan pilihan pertama adalah citra pemerintah. Dalam politik citra adalah segalanya. Menaikkan harga BBM dan gas sungguh tidak populis dan selalu berada dalam daftar pilihan paling akhir sekalipun langkah itu penting demi kesehatan anggaran, demi kelancaran berbagai program pembangunan  dan demi efektifitas subsidi serta berbagai bantuan lainnya.
Pilihan kedua selalu menjadi primadona sekalipun akan memberi beban maha berat pada anggaran. Kalaupun pemerintah menaikkan BBM, subsidi pasti tetap dipertahankan bahkan diperbesar untuk menekan angka kenaikan tidak tinggi.
Efektifitas Subsidi
Lebih penting dari kesehatan anggaran, penggunaan subsidi secara tepat sasaran sesungguhnya harus menjadi pertimbangan terpenting.Â
Berbagai kajian telah menunjukkan bahwa subsidi BBM merupakan bentuk pemborosan terbesar negara karena tidak mampu menyasar lapisan terbawah masyarakat miskin Indonesia. Pengguna terbesar BBM hasil subsidi adalah pemilik kendaraan pribadi.
Kita bisa berdebat bahwa tidak semua pemilik kendaraan pribadi berstatus orang kaya. Tapi jika masyarakat Indonesia kita klasifikasikan mulaia dari lapisan terbawah hingga ke lapisan terkaya, para pemilik kendaraan pribadi pasti tidak berada dalam lapisan terbawah. Bukankah lapisan terbawah ini mesti menjadi prioritas terutama dalam penggunaan anggaran besar negara?
Kemenkeu sendiri mengakui 40 % dari subsidi BBM dinikmati masyarakat dari lapisan terkaya (kompas.com, 26/06/20).Â
Maka kalau kita mengikuti prinsip pembangunan tepat sasaran, subsidi BBM mestinya dihilangkan dan dialihkan ke subsidi lain yang berdampak langsung pada masyarakat lapisan terbawah.Â