Terlepas dari aneka kritik atas administrasi pemerintahan Jokowi, saya mengagumi keberanian dan kebulatan tekadnya untuk mewujudkan pemindahan Ibu Kota dari Jakarta yang sudah sangat sesak.Â
Tiap kilometer persegi tanah di Jakarta dihuni minimal 16 ribu orang. Jakarta 118 kali lebih padat dari rata-rata kota di Indonesia.Â
Ekses berikutnya tentu sudah bisa kita tebak seperti kemacetan tinggi, kualitas udara buruk, tata kota semakin sulit dijalankan dan sebagainya.Â
Karena itu, survei terbaru menunjukkan bahwa warga Jakarta yakin kota yang dulu bernama Batavia tersebut akan lebih cepat berkembang menjadi kota modern setelah tidak lagi menjadi ibu kota (kontan. co.id, 05/02/22).
Pemindahan ibu kota sesungguhnya tidak hanya upaya untuk membangun pusat pemerintahan yang lebih tertata, kota dengan kualitas udara bersih, transportasi sehat dan sejumlah indikator kota sehat lainnya.Â
Tapi lebih dari itu, pemindahan ibu kota adalah terobosan besar untuk mewujudkan pembangunan yang lebih inklusif atau merata; pembangunan yang dapat menjangkau secara lebih baik daerah-derah di luar pulau Jawa.
Selama ini kita telah sering mendengar wacana "Indonesia Paska Jakarta". Ini merupakan kritik atas model pembangunan di Indonesia sejak merdeka yang selalu terpusat di Jakarta dan daerah-daerah di sekitarnya.
Sejak Indonesia merdeka, kemajuan pembangunan Indonesia hanya direpresentasikan daerah-daerah di Pulau Jawa yang nota bene memiliki akses lebih dekat ke Jakarta. Maka model pembangunan Indonesia selama ini juga disebut "Jawa Sentris".
Tak perlu dipungkiri adanya keceburuan daerah-daerah lain selama ini akibat model pembangunan yang terlalu Jawa Sentris. Sektor-sektor produksi yang menopang ekonomi negara selama ini lebih banyak bergerak di daerah-daerah luar Jawa.Â
Produksi unggulan di bidang perikanan, pertanian, tambang, pariwisata dan berbagai sektor lain berasal dari daerah-daerah di luar Pulau Jawa tetapi Pulau Jawalah yang mendapat "kue" terbesar dari pembangunan yang ditobang beragam sektor tersebut.Â