Tensi perdebatan tentang isu penundaan Pemilu 2024 mengalami tren naik turun. Sejak dilontarkan beberapa ketua partai pendukung pemerintah pada Februari lalu isu tersebut langsung menyedot perdebatan publik.Â
Sempat mereda, kemudian menghangat lagi setelah beredar surat undangan rapat terbatas (Rakor) berkop Kemenko Polhukam untuk membahas penundaan Pemilu. Rakor tersebut akhirnya dibatalkan tetapi telah berhasil menyedot perhatian publik.
Naik turun tensi isu tersebut memunculkan dugaan adanya upaya sengaja mengorkestrasi isu tersebut untuk mengalihkan perhatian publik dari masalah-masalah lebih genting seperti persoalan harga minyak goreng, isu tenaga kerja asing dan sebagainya.Â
Dugaan tersebut cukup masuk masuk akal karena melalui media kita bisa menyaksikan orang-orang yang dekat dengan presiden memainkan peran secara bergantian untuk menghangatkan, meredakan, menghangatkan kembali isu tersebut.
Tanpa adanya kepentingan mengalihkan perhatian publik, sulit memahami urgensi isu penundaan Pemilu oleh orang-orang dekat Presiden. Isu tersebut telah jelas menyedot perhatian dan energi secara sia-sia karena perubahan konstitusi (untuk mengakomodasi penundaan Pemilu) merupakan upaya yang maha sulit dan pasti memunculkan penolan luas bahkan keras dari masyarakat luas. KPU telah melangkah jauh mempersiapkan tahapan-tahapan Pemilu 2024.Â
Demikian juga partai-partai politik yang telah melakukan persiapan jauh-jauh hari agar bisa mendaftar di bulan Agustus mendatang (sesuai jadwal). Jika semua persiapan tersebut akhirnya menjadi sia-sia, akan muncul gelombang penolakan secara luas. Karena itu partai terbesar di Indonesia (PDIP) berulang kali  menyatakan penolakan secara tegas. Demikian juga partai-partai besar lainnya.
Perubahan lama jabatan presiden tidak saja menghianati semangat Reformasi, tetapi juga menghianati konstitusi. Secara politik teks Konstitusi bisa saja diamandemen (sekalipun dengan upaya maha sulit) melalui MPR, tetapi langkah tersebut akan melukai secara mendalam roh  konstitusi.Â
Jalan politik bangsa ini diatur oleh konstitusi, salah satunya untuk membatasi masa jabatan seorang Presiden dalam rangka membatasi kekuasaan. Membatasi kekuasaan politik adalah kepentingan semua masayarakat, maka roh konstitusi adalah kepentingan masyarakat itu sendiri.
Dari sejarah kita belajar, penundaan Pemilu akan melanggengkan kekuasaan tanpa batas. Presiden pertama, Soekarno, pernah melakukannnya dengan mengundurkan Pemilu 1959 dengan alasan keamanan. Presiden kedua, Soeharto, mengundur pergantian presiden 1968 menjadi 1971.Â