Rancangan Peraturan Daerah Penyelenggaraan Kota Religius di Depok yang viral di media beberapa minggu lalu menaikkan kekahwatiran para pemerhati demokrasi terhadap konservatisme agama yang semakin kuat dan meluas di Indonesia.Â
Konservatisme agama sendiri sesungguhnya tidak perlu dipersoalkan dari kaca mata demokrasi, sejauh tidak mempengaruhi kebijakan-kebijakan publik. Perda berbasis agama adalah perwujudan dari kekuatan konservatisme agama dalam kebijakan-kebijakan publik.
Selain di Depok, Perda sejenis juga pernah memicu perdebatan panjang ketika Kabupaten Monokwari (Papua) menerapkan aturan-aturan berbasis Injil untuk mengatur penggunaan simbol-simbol agama, minuman beralkohol dan sejumlah isu lain. Beberapa daerah lain juga menerapkan peraturan-peraturan sejenis (Perda berbasis tafsir terhadap ajaran agama tertentu).Â
Jika praktek seperti ini dibiarkan terus berlangsung, populisme agama dalam politik Indonesia secara perlahatan akan semakin terstruktur dan pada gilirannya akan menggerus semangat kebhinekaan yang merupakan fundamen dari paham kebangsaan Indonesia.Â
Dari kaca mata demokrasi, peraturan negara (termasuk Perda) tidak semestinya ditujukan untuk mengatur cara beragama yang merupakan wilayah privat tiap warga.Â
Tanggungjawab negara terhadap agama (sesuai konstitusi) hanya sebatas memberi jaminan kebebasan bagi tiap warga untuk menjalankan agamanya masing-masing. Negara tidak memiliki hak mengatur apalagi memaksa cara beragama warga berdasarkan tarfsir agama tertentu.
Kewajiban warga untuk menghentikan segala aktivitas di jam ibadah pada hari Minggu seperti diatur dalam Perda Injil Kabupaten Monokwari adalah contoh campur tangan kebablasan dari pemerintah terhadap wilayah privat warga. Hal ini juga dikriminatif karena tidak menyebutkan kewajiban warga di jam ibadah agama lain.Â
Hal serupa juga terjadi dalam salah satu ayat dalam Raperda Kota Depok yang viral tersebut di mana disebutkan kewajiban Pemkot Depok membina masyarakat dan keluarga beragama Islam agar terbebas dari buta aksara Al-Quran, sedangkan pegaturan sejenis untuk penganut agama lain tidak disebutkan.Â
Peraturan-peraturan seperti ini bertentangan dengan nilai-nilai pluralisme yang telah menjadi roh kehidupan berbangsa di Indonesia dan secara telak merupakan pengingkaran pada nilai-nilai Pancasila yang menjadi asas kebhinekaan semua perbedaan RAS di negeri ini.
Sekalipun pemerintah daerah berdalih bahwa Perda berbasis agama akan diupayakan adil bagi semua pemeluk agama di daerahnya, kelompok minoritas akan semakin rentan menjadi korban diskriminasi dan korban persekusi dari kelompok-kelompok intoleran yang menuntut ketaatan pada norma-norma agama tertentu yang menjadi ketentuan publik melalui Perda.Â