Atas dasar itu negara (baca: pemerintah pusat) sudah semestinya membatasi kewenangan pemerintah daerah dalam pembuatan Perda berbasis agama.
Pemerintah Pusat memiliki wewenang menertipkan Perda-Perda berbasis agama karena dalam UU No. 32 Tahun 2004 disebutkan dengan jelas bahwa peraturan-peraturan yang berkaitan dengan masalah agama merupakan wewenang pemerintah pusat. Pasal ini semestinya menjadi senjata bagi pemerintah pusat untuk menertipkan peraturan-peraturan yang berpotensi menggerus semangat persatuan Indonesia.
Perlu upaya-upaya penyadaran lebih intens bagi semua penyelenggaran negara (termasuk Pemda) bahwa paham kebangsaan Indonesia tidak dibangun atas tafsir terhadap ajaran agama tertentu atau atas tradisi daerah tertentu tetapi atas nilai-nilai kebhinekaan dan persatuan. Â Para politisipun sangat penting menyadari hal tersebut karena ambisi untuk melahirkan Perda-Perda bebasis agama adalah buah dari praktek populisme agama dalam politik.
Ketika para politisi tidak memiliki program terukur untuk ditawarkan kepada masyarakat, mereka menggunakan pendekatan agama untuk menggalang dukungan. Konsekuensinya, ketika berhasil menduduki jabatan publik para petualang politik tersebut dituntut oleh konstituen untuk mewujudkan janji-janji populis mereka seperti pembuatan Perda berbasis agama.Â
Maka jika tidak ada upaya membendung kelahiran Perda-Perda yang berbasis agama, populisme agama akan membentuk struktur yang lebih kokoh dalam politik Indonesia. Pelan-pelan masing-masing daerah akan menjadi wilayah dominasi eksklusif agama tertentu dan tidak tertutup kemungkinan di kemudian hari kita akan kesulitan membedakan pemimpin politik dengan pepimpin agama di berbagai daerah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H