Mohon tunggu...
Putu Suasta
Putu Suasta Mohon Tunggu... Wiraswasta - Alumnus UGM dan Cornell University

Alumnus UGM dan Cornell University

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ketika Kritik Mahasiswa Direspon Secara Berlebihan

3 Juli 2021   09:19 Diperbarui: 3 Juli 2021   09:21 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kritik BEM UI terhadap Jokowi dengan menggunakan meme sinis secara substansial memang tak layak dibenarkan seluruhnya. Tapi di tengah kebisingan media (terutama media sosial), sebuah opini ataupun kritik seringkali membutuhkan kemasan kreatif agar segera mendapat perhatian. Barangkali itulah motivasi BEM UI menggunakan karikatur Jokowi sebagai "King of Lip Sevice". Sekali lagi, substansi kritik tersebut tidak layak dibenarkan seluruhnya walau kita semua tahu banyak kebijakan-kebijak Jokowi memang tidak sesuai dengan pernyataan-pernyataan yang dilontarkan di depan media.

Yang paling layak disesalkan adalah reaksi  berlebihan para pendukung Jokowi terhadap kritik tersebut. Sudah lebih satu minggu media massa dan juga media sosial kita disesaki ungkapan-ungkapan kemarahan pendukung pemerintah sebagai respon terhadap kritik BEM UI tersebut. Para akademisi, politisi, pengamat dan berbagai elemen pendukung Jokowi tak henti-henti membuat opini atau sekedar kecaman, saling menyahut dan membuat kebisingan tak perlu. Jokowi sendiri tampak santai dan terkesan tak mempermasalahkan kritik BEM UI, tapi orang-orang terdekatnya terus bersikap reaksioner.

Upaya Politisasi

Kita tahu mahasiswa memang ditempa untuk bersikap kritis. Daya kritis tersebut pertama-tama harus diletakkan sebagai sebuah kekuatan kontrol tanpa afiliasi politik. Karena memang lembaga pendidikan, seperti dikatakan Filsuf John Dewei, merupakan pengaman politik satu-satunya. Artinya, kekuatan kontrol dari lembaga-lembaga pendidikan merupakan satu-satunya yang layak didengarkan tanpa curiga terhadap motif politik karena wilayah inilah yang diharapkan dapat steril dari anasir-anasir politik. Hal ini telah gagal dipahami oleh kelompok pendukung pemerintah yang berusaha membangun stigma bahwa kritik BEM UI dimotori oleh kekuatan politik anti-pemerintah.
Raksi Rektor UI dan juga para akademisi pro-pemerintah dengan terang benderang justru menunjukkan upaya mempolitisasi kekuatan-kekuatan mahasiswa (secara lebih luas lembaga pendidikan). Hal ini semakin terang dengan terlebahnya sekarang kampus-kampus di dalam negeri antar pro dan kontra terhadap BEM UI.

Kalau kita menoleh kembali ke sejarah, semestinya bangsa ini telah lebih matang menghadapi sikap-sikap mahasiswa dalam menjalankan fungsi kontrol mereka. Tidak ada satupun presiden sejak Indonesia merdeka yang tak berhadapan dengan kritik dan kontrol dari mahasiswa.

Bahkan di era Orde Lama para sejarawan mencatat 3 kekuatan bangsa yakni Soekarno, militer dan mahasiswa. Di masa Orde Baru kekuatan mahasiswa dicoba diredam dengan berbagai upaya, tetapi  mahasiswalah yang menjadi motor penggerak berakhirnya rezim tersebut. Peran mahasiswa kemudian terus tampil di sepanjang perjalanan reformasi. Maka sangat mengherankan jika sekarang ini muncul reaksi-reaksi yang antipati terhadap daya kritis mahasiswa.

Himbauan Moral

Kritik BEM UI semestinya ditempatkan sebagai himbauan moral, bukan sebuah pembangkangan politik yang mesti direspon secara defensif. Hal ini secara tegas dinyatakan oleh cendikiawan Azyumardi Azra yang menilai pemanggilan mahasiswa pengkritik Jokowi oleh rektor UI menandakan bahwa birokrat kampus telah terkurung akan kedudukan.

"Penyempitan demokrasi itu memang terlihat atau terasa. Maka kritik seperti itu saya sebut suara langka. Civitas akademika, birokrat kampus dan dosen sudah terkurung dalam menara gading," kata Azyumardi sebagaimana dikutip kompas.com (29/06/21).

Azyumardi menyebut pemanggilan tersebut sebagai upaya penertiban terhadap suara kritis mahasiswa karena mengkritik penguasa. Langkah tersebut pun dianggap tidak tepat.
 
"Langkah Perguruan Tinggi menertibkan kebebasan kepemimpinan mahasiswa untuk beraspirasi dan mengritik penguasa jelas tidak pada tempatnya dan kontraproduktif bagi kehidupan hari ini dan masa depan Indonesia yang lebih baik," tegas dia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun