Belakangan ini Bahasa Bali kembali menjadi pusat perhatian di Bali. Ada sejumlah pertimbangan kultural yang menjadi latar belakang fenomena itu. Di antaranya kekhawatiran akan mengikisnya Bahasa Bali di kalangan pengusung dan penuturnya, yakni masyarakat Bali itu sendiri. Bukan tak mungkin pula Bahasa Bali akan punah sama sekali.
Punahnya suatu bahasa bukan hal baru dalam sejarah. Seiring dengan punahnya suatu kebudayaan maka punah pula bahasanya. Dunia belajar dari lenyapnya kebudayaan suku Maya, Inca, Aztek sebagai contoh. Mereka hanya meninggalkan jejak-jejak benda purbakala.Â
Dunia tak tahu persis seperti apa bahasa-bahasa mereka. Yang bisa ditandai ialah bahwa suku-suku tersebut pernah memiliki suatu kebudayaan yang cukup tinggi di zamannya berdasarkan sedikit peninggalan yang ada.
Bahkan di Indonesia pun memiliki 'nasib' serupa dengan peristiwa punahnya bahasa-bahasa sejumlah suku di Indonesia. Menurut catatan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa), sampai Oktober 2017, bahasa daerah yang telah diidentifikasi dan divalidasi 652 bahasa dari 2.452 pengamatan. Dengan jumlah itu, Indonesia merupakan negara dengan bahasa daerah terbanyak nomor dua di dunia setelah Papua Nugini.
Disebut dalam data BPS pada 2011 tentang profil bahasa daerah, 79,5 persen penduduk masih berkomunikasi sehari-hari di rumah tangga dengan menggunakan bahasa daerah. Dari tahun 2011 sampai 2017, dari 652 bahasa daerah yang telah didokumentasikan dan dipetakan, baru 71 bahasa daerah yang telah dipetakan vitalitasnya.
Dari data tersebut, 19 bahasa daerah terancam punah, 2 bahasa daerah kritis dan 11 bahasa daerah sudah punah! (Liputan 6, Badan Bahasa: 11 Bahasa Daerah Punah, 19 Terancam Punah, dan 2 Kritis, 21 Feb 2018).Â
Catatan Badan Bahasa itu mengindikasikan bahwa sebanyak kita memiliki bahasa daerah (bahasa ibu) namun sebanyak itu terancam kepunahan. UNESCO bahkan memastikan dengan lebih sengit lagi bahwa bahasa daerah di Indonesia punah setiap 15 hari sekali!
Bersyukur bahwa Bahasa Bali adalah bahasa daerah yang termasuk terdokumentasi dan tervalidasi. Maka segera kita mengerti mengapa Bahasa Bali diberi perhatian besar belakangan ini oleh sejumlah pihak. Kesadaran itu mula-mula tergerak oleh orang per orang (pesastra Bali, peminat bahasa Bali, pemerhati sosial budaya).
Gerakan yang mencuatkan Bahasa Bali dan sangat fenomenal dilakukan oleh para musisi dan penyanyi pop Bali. Bahasa Bali kemudian menjadi dikenal melalui lagu-lagu pop Bali yang diperdengarkan di radio, televisi lokal dan panggung-panggung hiburan di Bali. Meski lirik lagu berbahasa Bali bersifat lucu-lucuan dan cenderung porno, namun Bahasa Bali mendapatkan kembali penyegarannya.
Tak kalah bergiat adalah para pesastra Bali. Yang menggembirakan ialah munculnya para remaja dan pemuda yang dengan kesadaran sendiri menggalakkan karya-karya sastra berbahasa Bali seperti cerita pendek, puisi bahkan novel. Tak sedikit di antara mereka mendapatkan Penghargaan Rancage, suatu penghargaan tertinggi dalam karya sastra berbahasa Sunda, Jawa dan Bali.
Mereka yang mendapatkan Penghargaan Rancage ini di antaranya: Made Sugianto, I Gede Agus Darma Putra, Ida Bagus Wayan Keniten, I Made Suarsa, Nyoman Manda, I made Suatjana, I Nyoman Tusthi Eddy, I Nengah Tinggen, dan beberapa lagi yang lain. Hingga kini para pesastra berbahasa Bali itu masih produktif. Apalagi dua media di Bali seperti Bali Post dan Pos Bali menyediakan halamannya khusus untuk karya tulis berbahasa Bali.